Keutamaan Ilmu dan Ulama’

#kajian kitab tanqihul qoul

BAB I

KEUTAMAAN ILMU DAN ULAMA

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman “

شهد الله أنه لا إله إلا هو والملائكة وأولوالعلم قائما بالقسط

Allah Subhanahu Wata’ala, para Malaikat, dan orang-orang yang ber-ilmu yang berpijak pada keadilan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia (Allah).

Perhatikan firman Allah di atas, Bagaimana Allah SWT mengawali (kesaksian ketuhanannya) dengan diriNya sendiri, lalu kedua adalah para Malaikat dan yang ketiga adalah para ahli ilmu. Hanya dengan ayat ini saja bisa di ketahui betapa mulya dan utamanya orang-orang yang berilmu.

وقال النبى صلى الله عليه وسلم لابن مسعود رضى الله عنه يا ابن مسعود جلوسك ساعة فى مجلس العلم لا تمس قلما ولا تكتب حرفا خير لك من عتق ألف رقبة ، ونظرك إلى وجه العالم خير لك من ألف فرس تصدقت بها فى سبيل الله ، وسلامك على العالم خير لك من عبادة ألف سنة

Nabi Muhammad SAW berkata pada Ibnu Mas’ud Ra,   “wahai ibnu mas’ud dudukmu sesaat di majlis ilmu tanpa memegang pena dan tanpa menulis satu hurufpun itu lebih baik bagimu daripada memerdekakan  1000 hamba sahaya, memandangmu kepada orang alim itu lebih baik bagimu daripada 1000 kuda yang engkau sedekahkan di jalan Allah, dan ucapan salammu kepada orang alim itu lebih baik bagimu dari pada ibadah 1000 tahun. (Al-hafidz ibnu mundziri dalam kitab durrotul yatimah).

Umar bin khattab RA berkata, “aku pernah mendengar Rosululloh SAW berkata ” barang siapa berjalan menuju perkumpulan orang alim, maka setiap langkahnya dinilai100 kebajikan, jika dia duduk dan mendengarkan apa yang di katakan orang alim, maka setiap kalimat yang di ucapkan orang alim itu dinilai satu kebaikan baginya.. (Imam Nawawi dalam kitab Riyadlussolihin).

وقال صلى الله عليه وسلم فقيه متورع أشد على الشيطان من ألف عابد مجتهد جاهل ورع

Seorang alim fiqih (orang yang mengerti ilmu syari’at) yang wira’i (Orang yang menjaga diri dari perkara-perkara haram) itu lebih berat bagi setan daripada 1000 ahli ibadah yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, bodoh dan wira’i.

Demikian itu, karena setiap kali setan telah membuka pintu hawa nafsu manusia dan menghiasi syahwat dalam hati mereka, maka ahli fiqih yang arif akan menjelaskan mereka tentang itu, sehingga pintu tipudaya itu menutup kembali, akhirnya setan kecewa. Berbeda dengan orang bodoh, terkadang dia sibuk dengan ibadah, padahal tidak ia mengerti, ia sedang dalam jeratan setan. (sebagaimana penjelasan al-Azizi memindah dari perkataan at-Thibi).

Kenapa begitu? Sebab setiap kali syetan menebar jeratnya, membuka pintu-pintu reka dayanya, menghiasi syahwat dalam hati manusia, menjerumuskannya dalam keindahan dan keenakan duniawi, maka di saat itu seorang ulama akan menjelaskan kepada manusia-manusia tentang tipu daya setan itu. Menjelasakan bahwa itu semua adalah semu. Bahwa itu akan menjerumuskan pada jurang kesesatan, seorang ulama itu akan menjelaskan kepada manusia dengan dasar dan dalil yang bisa dan mudah untuk diterima. Dengan demikian seorang ulama itu akan menutup kembali pintu-pintu kesesatan yang telah di buka oleh syetan, akan menggulung kembali jaring-jaring tipuan yang telah ditebarkan setan, dan hasilnya adalah kekecewaan yang mendalam dari syetan, karena tidak mendpatkan hasil usahannya.

Dikarenakan tipu dayanya sudah di gagalkan begitu saja oleh seorang ulama.
Berbeda dengan orang yang bodoh tapi ahli ibadah, sekalipun dia wira’i, bahkan terkadang mereka terjerat dalam tali temalinya syetan. Tetapi sedikitpun mereka tidak merasakannya, karena begitu miripnya kebenaran dan kesesatan yang telah direkayasa oleh syetan. Bahkan seringkali seorang abid akan menjadi pejuang-pejuang syetan dengan tetap merasakannya sebagai pejuang-pejuang agama Allah.

وقال صلى الله عليه وسلم فضل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على سائر الكواكب،

NAbi Muhammad SAW bersabda, “ke-Utamaan orang Alim (yang mengamalkan ilmunya) atas orang yang ahli Ibadah (yang tidak Alim) adalah seperti bulan purnama atas bintang-bintang.

Maksud dari ‘keutamaan’ adalah banyaknya pahala yang mencakup pemberian Allah SWT di akhirat, seperti, tingkatan-tingkatan di surga, kelezatannya, makanan dan minumnya juga bidadari-bidadarinya, dan pemberian Allah SWT yang berupah tingkatan kedekatannya kepada Allah dan ni’mat melihat dan mendengarkan kalamullah. Riwayat Abu Nuaim dari Muazh bin Jabal.

وفى رواية للحارث بن أبى أسامة عن أبى سعيد الخذرى عنه صلى الله عليه وسلم فضل العالم على العابد كفضلى على أمتى

Dalam riwayat harits bin Abi Usamah dari Abi Said alKhuzhri dari Nabi SAW, “ke-Utamaan orang Alim atas orang yang ahli Ibadah adalah seperti keutamaanku atas umat-umatku.

وفى رواية للترمذى عن أبى أمامة: فضل العالم على العابد كفضلى على أدناكم.

Dalam riwayat Tirmidzi dari Abi Umamah ” ke-Utamaan orang Alim atas orang yang ahli Ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang terrendah dari kalian semua .”

Maksudnya keutamaan orang alim atas orang yang ahli ibadah itu seperti keutamaan nabi Muhammad SAW atas adnaa syarofis shohabah “sahabat yang paling rendah kemulyaannya”.

Imam Al-Ghazali berkata, “Perhatikanlah…! Bagaimana nabi SAW mensejajarkan ilmu dengan derajat kenabian?, dan bagaimana nabi SAW merendahkan derajat amal (ibadah) yang tidak di sertai dengan ilmu?. (Jika seandainya dikatakan), tidak mungkin orang yang ahli ibadah tidak tahu dengan ibadah-ibadah yang biasa ia lakukan?. Maka jawabannya, Seandainya tidak ada orang berilmu tidak mungkin ada ibadah.

وقال صلى الله عليه وسلم من انتقل ليتعلم علما غفر له قبل أن يخطو. (رواه الشيرازى عن عائشة(

Rosululloh SAW bersabda, ” barang siapa berpindah tempat (dari satu tempat ke tempat yang lainnya, baik dengan berjalan kaki atau dengan menaiki kendaraan) dengan tujuan belajar (ilmu syari’at) maka di ampuni dosa-dosanya (dosa-dosa kecil yang pernah ia lakukan) sebelum ia melangkah (dari tempatnya, jika niatnya karena Allah). (HR. Assyairozi dari A’isyah R.A.)

Hadist ini kembali lagi tergantung kepada niat dari orang yang mencari ilmu tersebut, yaitu hanya ketika niatnya adalah untuk mencari ridlo dari Allah SWT. Lain lagi ketika dia mencari ilmu, walaupun ilmu-ilmu agama dengan niatan agar menjadi orang yang dihormati, disegani, agar mempunyai pengaruh dan mempengaruhi orang lain, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali apa yang diniatkannya itu.

وقال صلى الله عليه وسلم أكرموا لعلماء فانهم عند الله كرماء مكرمون

Rosululloh SAW bersabda,  “Muliakanlah Ulama  (Orang-Orang  yang mengerti ilmu syariat dan mengamalkannya), karena mereka itu orang-orang Mulia (orang-orang pilihan Allah) dan yang di mulyakan pula (di kalangan Malaikat).

وعن أبي هريرة قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إذا تَحَدَّثَ العَالِمُ فِي مَجْلِسِهِ بِالعِلْمِ وَلَمْ يَدْخُله هَزْلٌ وَلا لَغْوٌ، خَلَقَ الله تَعَالَى مِنْ كُلِّ كَلِمَةٍ طَلَعَتْ مِنْ فَمِهِ مَلَكا يَسْتَغْفِرُ الله لَهُ وِلِسَامِعِهِ إلَى يَوْمِ القِيَامَةِ فإذا انْصَرَفُوا مَغْفُورِينَ لَهُمْ، ثم قال: هُم القَوْمُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسهم.

Dari Abi Huroiroh R.A berkata, “aku mendengar Rosululloh SAW bersabda”, “Ketika seorang Alim berkata tentang ilmu di Majlisnya, dengan tidak bersenda gurau dan berbuat yang tidak bermanfaat, maka Allah menciptakan dari setiap kalimat yang di ucapkannya- malaikat-malaikat yang terus meminta ampunan Allah untuknya dan untuk orang-orang yang mendengarkannya sampai hari Kiamat., dan ketika mereka selesai-pulang, mereka dalam keadaan telah di ampuni dosa dosanya. Kemudian nabi Muhammad SAW bersabda lagi, “mereka adalah kaum yang tidak membuat celaka pengikutnya”.

وقال صلى الله عليه وسلم من نظر الى وجه العالم نظرة ففرح بها خلق الله خلق الله من تلك النظرة ملكا يستغفر له الى يوم القيامة

Rosululloh bersabda, “Barang siapa memandang wajah seorang Alim -sekali pandangan saja dan Orang itu gembira dengan pandangan itu, maka Allah SWT menciptakan dari pandangan yang sekali itu- malaikat-malaikat yang terus meminta ampunan Allah untuknya sampai hari Kiamat.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karromallohu Wajhah berkata, “Memandang wajah orang Alim itu Ibadah, juga menjadi cahaya mata dan hati. Ketika seorang Alim itu duduk di majlis untuk mengajarkan ilmu, maka setiap satu persoalan dia mendapat satu bangunan gedung di surge, demikian pula orang-orang yang mau mengamalkan persoalan itu. (riyadlus Sholihin).

وقال صلى الله عليه وسلم من أكرم عالما فقد أكرمنى ومن أكرمنى فقد أكرم الله ومن أكرم الله فمأواه الجنه

Rosululloh SAW bersabda, “Barang siapa memulyakan orang alim maka berarti dia sungguh-sungguh memulyakanku, dan siapapun yang memulyakanku, berarti dia juga memulyakan Allah dan siapapun yang memulyakan Allah maka tempatnya adalah Surga.

Rosululloh SAW bersabda, “Mulyakanlah Ulama’, karena mereka adalah pewaris para Nabi. Barang siapa memulyakan mereka berarti mereka memulyakan Allah dan RosulNya. (HR. al-Khotib aL-Baghdady dari Jabir R.A.)

وقال صلى الله عليه وسلم نوْمُ العَالِمِ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ الجَاهِلِ. أي نوم العالم الذي يراعي آداب العلم أفضل من عبادة الجاهل الذي لا يسلم آداب العبادة.

Rosululloh SAW bersabda, (“Tidurnya orang Alim itu lebih Utama daripada Ibadahnya Orang Bodoh”). Maksudnya adalah Orang alim yang tidur dalam keadaan memelihara adabul ilmi itu lebih afdlol daripada orang bodoh yang beribadah tetapi tidak memperhatikan adabul ibadah.

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ تَعَلَّمَ بَابا مِنَ العِلْمِ يَعْمَلُ بهِ أوْ لَمْ يَعْمَلْ بهِ كَانَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ يُصَلِّي أَلْفَ رَكْعَةٍ تَطَوُّعا, هذا يدل على أن العلم أشرف جوهرا من العبادة، ولكن لا بد للعبد من العبادة مع العلم، وإلا كان علمه هباء منثورا كما روي عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ما مِنْ عَالِمٍ لا يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ إلاّ نَزَعَ الله رُوحَهُ عَلى غَيْرِ الشَّهَادةِ.

Nabi SAW bersabda, “belajar ilmu satu bab baik diamalkan atau tidak, itu lebih utama daripada sholat sunah 1000 rokaat”.  Ini menunjukkan ilmu itu lebih mulya daripada ibadah, tapi meskipun demikian orang yang berilmu itu haruslah juga beramal agar ilmunya tidak seperti debu yang terbang berhamburan kemudian hilang tanpa bekas. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Abu Huroiroh, “Tidak ada seorang alimpun yang tidak mengamalkan ilmunya kecuali nanti Allah akan mencabut nyawanya dalam keadaan tidak bisa bersyahadat (menyaksikan ketuhanan Allah).

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ زَارَ عَالِما فَكَأَنَمَّا زَارَنِي، وَمَنْ صَافَحَ عَالِما فَكَأَنَّما صَافَحَنِي، وَمَنْ جَالَسَ عَالِما فَكَأَنَّما جَالَسَنِي في الدُّنْيَا، وَمَنْ جَالَسَنِي في الدُّنْيَا أَجْلَسْتُهُ مَعِي يَوْمَ القِيَامَةِ. وعن أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : مَنْ زَارَ عَالِما فَقَدْ زَارَنِي، وَمَنْ زَارَنِي وَجَبَتْ له شَفَاعَتي، وكانَ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ أَجْرُ شَهِيدٍ، وعن أبي هريرة قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: مَنْ زَارَ عَالِما ضَمِنْتُ لَهُ عَلى الله الجَنَّة. وعن علي بن أبي طالب أنه قال:  قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ زَارَ عَالِما أيْ فِي قَبْرِهِ ثُمَّ قَرَأَ عِنْدَهُ آيةً مِنْ كِتَابِ الله أعْطَاهُ الله تَعَالَى بِعَدَدِ خطَوَاتِهِ قُصُورا فِي الجَنَّةِ وَكَانَ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ قَرَأَهُ عَلَى قَبْرِهِ قَصْرٌ في الجَنَّةِ مِنْ ذَهَبٍ. كذا في رياض الصالحين.

Nabi SAW bersabda, “Barang siapa mengunjungi orang alim maka seolah-olah dia mengunjungiku. Barang siapa berjabat tangan dengan orang alim maka seolah-olah dia berjabat tangan denganku. Barang siapa duduk-duduk bersama orang alim maka seolah-olah dia duduk-duduk bersamaku di dunia, dan barang siapa duduk-duduk bersamaku di dunia maka aku tempatkan dia bersamaku pada hari kiamat”. Dari Anas bin Malik RA. “Bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Barang siapa ziarah kepada orang alim maka sungguh ia (sama seperti) menziarohiku, barang siapa menziarohiku maka seharusnya ia mendapat syafaatku, dan setiap langkahnya diganjar pahala mati sahid. Abu Huroiroh berkata, “Aku mendengar Rasuullah SAW bersabda, “barang siapa mengunjungi orang alim maka aku tanggung ia masuk surga”. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa ziarah (ke makam) orang alim kemudian membaca ayat-ayat alqur’an di sisi makom itu, maka Allah akan membangunkannya gedung di surge sebanyak langkah kakinya, dan setiap satu huruf yang ia baca di atas makam (orang alim itu) akan di ganjar oleh Allah satu gedung dari emas di surge”. (imam Nawawi dalam Riyadlus Sholihin).

*keterangan :

Firman Allah

 “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat….” (al-Mujadilah: 11)

 Ayat Allah subhanahu wa ta’ala yang mulia ini menjelaskan keutamaan para ahli ilmu dan orang-orang yang senantiasa menuntut ilmu agama. Di samping karena keimanan yang mereka miliki, mereka juga diangkat derajat dan kedudukannya oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena bertambahnya ilmu agama mereka, yang menjadikannya semakin jauh dari kejahilan dan mendekatkan kepada keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang tafsir ayat ini,

– Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat kaum mukminin dari kalian wahai kaum, dengan ketaatan mereka kepada Rabb mereka. (Mereka taat) pada apa yang diperintahkan kepada mereka untuk melapangkanir(majelis) ketika mereka diperintahkan untuk melapangkannya atau mereka bangkit menuju kebaikan apabila diperintahkan mereka untuk bangkit kepadanya.

Dengan keutamaan ilmu yang mereka miliki, Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dari ahlul iman (kaum mukminin) di atas kaum mukminin yang tidak diberikan ilmu, jika mereka mengamalkan apa yang mereka diperintahkan.” Lalu beliau menukilkan beberapa perkataan ulama salaf, di antaranya Qatadah rahimahullah, beliau berkata, “Sesungguhnya dengan ilmu, pemiliknya memiliki keutamaan.

Sesungguhnya ilmu memiliki hak atas pemiliknya, dan hak ilmu terhadap kamu, wahai seorang alim, adalah keutamaan. Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kepada setiap pemilik keutamaan, keutamaannya.” (Tafsir ath-Thabari, juz 28 hlm. 19)

*Antara Ilmu dan Ibadah

Menuntut ilmu juga merupakan jenis ibadah. Namun ilmu merupakan jenis ibadah yang memiliki nilai dan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan jenis ibadah lainnya. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 “Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah. Dan kunci agama adalah bersikap wara’ (meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan memudaratkan di akhirat, pen).” (Diriwayatkan oleh al-Bazzar, Abu Nu’aim, al-Hakim, dll, dari hadits Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Qais bin’ Amr al-Mula’i, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 4214. Lihat pula Shahih Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi no. 27)

Hadits ini menjelaskan demikian mulianya ilmu dan penuntut ilmu. Ini disebabkan karena seorang yang berilmu kemudian mengajarkan ilmunya, mendakwahkannya, hingga Allah subhanahu wa ta’alamemberikan hidayah kepada orang lain dengan sebab dakwahnya, maka menjadi salah satu amal jariyah baginya.

Selama ada yang mengamalkan ilmunya tersebut, maka dia akan terus mendapatkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala walaupun dia telah meninggal. Berbeda dengan orang yang mengerjakan shalat sunnah dan semisalnya, tidak ada yang merasakan manfaatnya kecuali hanya dirinya sendiri.

Ishaq bin Manshur rahimahullah berkata, “Aku bertanya kepada al-Imam Ahmad tentang perkataannya, Mudzakarah (mengulang-ulangi) ilmu pada sebagian malam lebih aku senangi daripada menghidupkannya (dengan qiyamul lail). Ilmu apakah yang dimaksud?” Beliau menjawab, “Yaitu ilmu yang memberi manfaat kepada manusia dalam perkara agamanya.” Aku bertanya lagi, “Dalam hal (cara) berwudhu’, shalat, puasa, haji, talak, dan semisalnya?” Beliau menjawab, “Iya.” (Shahih Jami’ al- Bayan, 30/45)

Diriwayatkan pula Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

 “Menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Shahih Jami’ al-Bayan, 31/48)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui ada satu ibadah yang lebih afdhal daripada seseorang yang mempelajari ilmu.” (Shahih Jami’ al-Bayan, 46/78)

*Kemuliaan Para Ulama

Ayat Allah subhanahu wa ta’ala ini menjelaskan demikian tingginya derajat dan kedudukan para ulama di atas yang lainnya. Merekalah orang-orang yang senantiasa mendapatkan kemuliaan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan juga di kalangan manusia. Di dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’alaberfirman,

 “Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki.” (Yusuf: 76)

Al-Imam Malik rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (dikeluarkan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul Bayan)

Zaid bin Aslam rahimahullah berkata dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

 “… Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain), dan Kami berikan Zabur (kepada Dawud).” (al-Isra: 55)

kata beliau: “yaitu dengan ilmu.” (Shahih Jami’ al-Bayan, 46/79).

Diberitakan oleh Asy’ats bin Syu’bah al-Misshishi bahwa beliau berkata, “Suatu hari Harun ar-Rasyid pergi ke Raqqah. Lewatlah serombongan orang di belakang Abdullah ibnul Mubarak, terputuslah sandal-sandal, debu-debu bertebaran. Lalu salah seorang budak wanita Amirul Mukminin melongok dari dalam istana, lalu bertanya, ‘Siapa ini?’

Mereka menjawab, ‘Seorang alim dari Khurasan telah datang.’

Berkatalah sang budak, ‘Demi Allah, inilah kerajaan sebenarnya, bukan kerajaan milik Harun yang mengumpulkan manusia dengan tentaranya dan para pembantunya’.” (Siyaru A’lam an- Nubala, adz-Dzahabi, 8/384) Wallahi, inilah kemuliaan yang sebenarnya.

Suatu hal yang mustahil bagi mereka yang ingin menegakkan syariat Islam, mendirikan khilafah Islamiyah, namun menempuhnya dengan cara-cara yang batil, dengan membentuk partai, masuk ke dalam parlemen, menundukkan dirinya di hadapan demokrasi yang thaghut, dan tidak membangun segala aktivitasnya di atas ilmu yang haq dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh mereka hanyalah mencari sesuatu yang bersifat fatamorgana, sebagaimana sebuah syair :

Kalian mengharapkan keselamatan namun tidak menempuh jalan-jalannya

Sesungguhnya kapal tidak akan berlayar di atas tempat yang kering

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Di antara tanda berpalingnya Allah subhanahu wa ta’ala dari hamba-Nya adalah dia menjadikan sibuk terhadap apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (at-Tamhid, Ibnu Abdil Barr)

Dengan ilmulah seseorang akan mendapatkan kemuliaan dunia sebelum akhirat. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah memilih Thalut untuk memimpin Bani Israil, firman-Nya,

 “Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’…” (al-Baqarah: 247)

Di dalam Shahih Muslim dari ‘Amir bin Watsilah bahwa Nafi’ bin Abdil Harits bertemu ‘Umar di ‘Usfan. Ketika itu ‘Umar mengangkatnya sebagai gubernur di Makkah. Kemudian ‘Umar bertanya, “Siapa yang engkau angkat jadi pemimpin daerah lembah?”

Beliau menjawab, “Ibnu Abza.”

(‘Umar) bertanya, “Siapa Ibnu Abza?”

Beliau menjawab, “Dia adalah salah satu bekas budak kami.”

(‘Umar) bertanya, “Engkau jadikan yang memimpin mereka dari kalangan maula (bekas budak)?”

Beliau menjawab, “Sesungguhnya dia mempunyai ilmu tentang kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan alim dalam ilmu warisan.”

‘Umar berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya Nabimu shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

 “Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) sebagian kaum dengan kitab ini (al-Qur’an), dan dengannya Allah subhanahu wa ta’ala merendahkan yang lainnya.”

Ahmad bin Ja’far bin Muslim rahimahullah berkisah, “Aku mendengarkan Abbar berkata, ‘Ketika aku berada di al-Ahwaz, aku melihat ada seorang laki-laki yang telah mencukur habis kumisnya,—(Ahmad bin Ja’far berkata) aku menyangka dia berkata—dia telah membeli beberapa kitab dan siap menjadi seorang mufti.

Lalu disebutkan kepadanya ashabul hadits, maka dia menjawab, ‘Mereka tidak ada apa-apanya, mereka tidak memiliki apa-apa.’

Aku pun berkata (kepadanya), ‘Engkau tidak pandai mengerjakan shalat.’

Dia berkata, ‘Aku?’.

Aku menjawab, ‘Iya, apa yang engkau hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika engkau membuka shalatmu dan mengangkat kedua tanganmu?’

Dia terdiam. Aku pun bertanya kembali, ‘Apa yang engkau hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala engkau sujud?’

Dia kembali terdiam. Aku berkata, ‘Bukankah aku telah mengatakan engkau tidak pandai mengerjakan shalat? Janganlah engkau menjelekkan ashabul hadits’.” (Siyaru A’lam an-Nubala, adz-Dzahabi, 13/444)

*Ulama adalah Para Mujahid

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan orang-orang yang menuntut ilmu sebagai salah satu bagian dalam jihad fi sabilillah.

Firman-Nya,

 “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)

Abu Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa yang menganggap bahwa berangkatnya seseorang mencari ilmu itu bukan jihad, maka sungguh dia kurang akal dan pikiran.” (Shahih Jami’ al-Bayan, 35/56)

Kepada merekalah kaum muslimin diperintahkan untuk merujuk ketika menghadapi berbagai problem di dalam agama mereka. Baik masalah bersuci, shalat, puasa, zakat, jihad, maupun persoalan-persoalan kontemporer (fiqh nawazil) lainnya.

Barang siapa yang membagi para ulama menjadi dua: ulama dalam urusan jihad dan ulama mengurusi selain jihad, sungguh dia telah terjerumus dalam kebatilan yang nyata.

Al-Albani rahimahullah berkata, “Jika sekiranya sikap memberontak terhadap pemerintah mendatangkan kejahatan yang telah dijelaskan oleh nash-nash syar’i yang saling menyatu, disertai dengan berbagai kejadian yang nyata, sebagaimana yang tampak dari hasil perbuatan para ahli bid’ah di setiap zaman.

Wallahu a’lamu bis showab.

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑