Bukan Jalan Tikus

Angin malam mengelus kaki yang telanjang tanpa alas kaki. Pohon-pohon berayun mengikuti arah angin. Beberapa daun terjatuh dari pohonnya. Pada saat itu juga, perempuan cantik sedang meratapi nasib sebagai manusia yang ditakdirkan sang Pencipta mengidap penyakit Agoraphobia. Dunia medis menyebutnya dengan kata tersebut.

Perkenalkan, namaku Eliana Putri. Biasa dipanggil dengan sebutan Ana. Aku tinggal bersama bunda dan kakak perempuanku yang bernama Sena Anantasya. Sejak ayah menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Meninggalkan keluargaku tanpa pemimpin. Karena kejadian 6 tahun silam. Pengeroyokan tanpa sebab, dan ayahku korbannya. Aku terlalu takut. Takut untuk berhadapan dengan dunia luar. Dokter mengatakan, bahwa Aku menderita gangguan cemas yang menyebabkanku merasa panik jika berada dalam keramaian.

“Ana.” Suara lembut terdengar ditelinga membuatku menoleh. Ternyata itu Bunda. Bunda tersenyum sendu menatapku. Kemudian, berjalan mendekat. “Ana…Ana kenapa di sini? Ayo tidur! Sudah malam nak,”

Bukannya menjawab, Aku malah meneteskan air mata. Bunda langsung memelukku. “Bun… maafkan Ana. Ana tidak….”

Bunda memotong perkataanku di saat satu kaliamat belum selesai terucap.

“Tidak apa-apa, Sayang. Bunda mengerti, kamu jangan menyerah! Tetap semangat!” Aku hanya menjawab dengan sebuah anggukan. Bundaku memang begitu. Selalu saja memberikan pengertian dan semangat. Sebesar atau sekecil apa pun kesalahan yang kubuat, Bunda pasti mengerti. Bunda mengalihkan pandangan. Nafasnya diembuskan secara perlahan. Aku tahu Bunda kecewa denganku, namun dia berusaha untuk  menyembunyikannya.

 Aku dan Bunda masuk ke kamar karena sudah larut malam.

 “Selamat tidur, Sayang!” ucap Bunda.

“Selamat tidur, Bunda! Maafkan Aku,” ucapku lirih.

Setelah Bunda keluar dari kamarku, kepalaku tertunduk. Aku merasa sangat bersalah karena membuat Bunda keceawa untuk yang kesekian kalinya. Namun aku juga terlalu takut, jika harus keluar ke dunia yang menurutku tidak aman. Aku takut terhadap semua kemungkinan buruk yang bisa saja menimpaku. Ya, peristiwa tadi pagi telah membuatku hati pontang-panting tidak nyaman. Aku telah melakukan terapi untuk kesehatanku. Namun gagal, aku masih belum bisa melawan ketakutanku.

                                                            ***

Fajar telah menghilang, tetapi matahari belum juga menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Aku bingung harus berbuat apa. Tidak ada pekerjaan yang kulakukan.

Ctaaar.

Terdengar suara gelas terpelanting di lantai tanpa dosa. Menjadi korban pertengkaran antara Bunda dan Kakakku yang hampir sering aku dengar.

“Bunda mau Ana seperti ini terus? Apakah Bunda tidak mau melihat Ana seperti anak-anak yang bisa meraih mimipinya tanpa takut?” cerca Kak Sena. Bunda hanya diam seribu bahasa. Di dalam hati. Aku tahu bahwa Bunda ingin sekali aku sembuh. Tapi Bunda tidak pernah menggunakan cara kasar atau memaksaku untuk sembuh.

“Sekolahkan Ana, Bun! Sampai kapan dia seperti ini terus? Tidak pernah melakukan aktivitas apapun. Bagaimana masa depannya?” Setelah mendengar semua apa yang diucapkan Kak Sena. Bunda meninggalkan Kak Sena seorang diri, menuju dapur untuk melanjutkan kegiatannya.

Tanpa aku sadari, air mata menetes di pipiku deras bak hujan lebat di Jakarta yang membuat banjir di sekitarnya. Aku tidak bisa membendung air mataku lagi. Mendengar pertengkaran Bunda dan Kakak hanya karena aku. Aku tidak bisa menahan semua beban dan penyakit ini. Aku ingin sembuh! Aku ingin sehat seperti anak-anak di luar sana! “Ya Tuhan, tolong angkat penyakit ini dari dalam diri hamba.”

Terdengar azan zuhur di Masjid yang sangat indah. Melantunkan lafad-lafad Allah. Kuambil air wudhu, dan kuhadapkan wajahku kepada-Nya. Tak lama kemudian jam makan siang tiba. Aku dan keluargaku berkumpul tanpa harus dipanggil. Kututupi wajah sedih ini dengan senyum agar Bunda dan Kakakku tidak mengetahui perasaanku yang kusimpan selama ini. Seusai acara makan siang. Aku menghelakan nafas lega dan langsung menuju kamar.

Suara Kak sena yang memanggil namaku yang membuat aku berhenti

“Ana.”

“Iya, Kak Sena?” jawabku dengan menoleh.

“Kakak bisa minta tolong sama kamu tidak?”

“Minta tolong apa, Kak?”

“Tolong Kakak belikan pulsa di warung Mbok Sinah di dekat Gang Mawar!”

“Eng..gimana ya, Kak. Ana takut,” jawabku dengan nada memelas. Tanpa menunggu jawaban Kak Sena, aku segera melangkah pergi.

“ANA. Mau kamu apa sih? Mengapa kamu tidak pernah mau melawan rasa takut kamu sama dunia luar? Mengapa???”

Emosinya tampak meluap seperti air mendidih di atas api yang panas. Spontan, aku menunduk. Dia memberi tatapan tajam padaku. Bunda hanya terdiam. Aku mengerti tidak ada yang bisa meredamkan emosi Kak Sena kecuali Ayah.

“A…aku juga tidak mau punya fobia ini, Kak,” jawabku terbata.

“Oh, jadi kamu tidak mau punya fobia itu? Namun yang Kakak lihat, kamu nyaman-nyaman saja tuh sama fobiamu. Tidak ada rasa mau menaklukan sama sekali. “

Aku terdiam, enggan menjawab perkataan Kak Sena yang kuakui benar adanya. Raut wajahnya tetap memancaarkan sebuah kemarahan. Tanganmya bersedekap dan mata itu tetap fokus menatapku. “Penuhi permintaan Kakak kalau kamu memang punya niat buat menaklukan rasa takutmu!”

Mendengar permintaan Kak Sena, pikiranku langsung tertuju dunia luar. Aku sangat takut. Aku merasa sangat tidak percaya diri. “Bagaimana jika orang-orang mengeroyokku tanpa sebab?” pikirku dalam diam.

“Mengapa? Tidak berani, ya?” Tanya Kak Sena dengan intonasi yang sedikit naik. Aku tidak ingin menanggapinya. Apakah dia tidak memikirkan, bagaimana perasaanku saat mendengarnya? Sakit, hancur. Dadaku menjadi sedikit sesak.

“Sudah kuduga, kamu pasti tidak akan sanggup.”

Kak Sena mulai meninggalkan aku disertai cibirannya yang semakin membuat telinga ini menjadi perih. Bunda menghampiriku dan memelukku erat. Seperti memberi semangat dari dalam. Namun aku tidak bisa berkata-kata. Kecuali air mata yang bisa mewakilkan perasaanku.

                                                            ***

Hari-hari pun berlalu, tapi bagiku tak ada bedanya. Aku masih memikirkan bagaimana cara untuk sembuh. Dan perkataan-perkataan Kak Sena yang membekas dihati. Aku merasa lemah. Pandanganku kosong seperti orang yang sudah tidak punya harapan hidup.

“Ana sayang…” suara Bunda yang ceria membubarkan lamunanku.

“Ada apa, Bun? Kelihatannya bahagia sekali,” jawabku dengan melas.

“Bunda punya kabar baik buat Ana,”

“Apa Bun?” tanyaku penasaran.

“Kamu mau tidak Bunda pondokkan?”

“Ha…Pondok?”

‘Iya, Pondok adalah tempat yang pas buat Ana melatih keberanian menghadapi dunia luar. Kamu jangan takut. Di sana nanti banyak orang yang baik sama Ana.”

“Bunda bercanda?”

“Tidak, Sayang. Bunda yakin, kalau Ana mondok bisa melawan rasa takut itu. Dan bisa meraih mimpi untuk masa depan Ana.”

“Mmm…gimana ya, Bun, Ana pikir-pikir dulu, ya?”

“Oke Sayang. Semoga kamu mau, biar kakakmu tidak marah-marah terus.” Bunda mengatakan dengan wajah sumringah. Dan meninggalkan aku sendiri untuk memikirkan tawaran Bunda tadi.

                                                            ***

Malam yang indah. Banyak bintang bertaburan bebas di langit. Udara yang biasanya menusuk relung hatiku kini berubah menjadi hangat. Melihat senyum Bunda dan Kak Sena yang seindah bintang. Ya, Aku memberi kabar bahwa aku mau untuk dipondokkan. Dan itu kabar baik buat Bunda dan Kakakku. Meski hati ini takut, namun akau akan melawan dan segera menepisnya. Aku ingat sekali setelah aku mencari info tentang penyakitku disebuah laman. Seperti melihat cahaya di sana. Aku semangat untuk melawan penyakitku. Dan kutemukan sebuah kata yang memotivasiku. Kekurangan adalah anugerah. Hanya tekad yang kuatlah yang bisa membuat seseorang sembuh, dan dengan atas izin Allah.

Pagi yang cerah. Matahari memancarkan sinarnya. Dengan semangat aku menunggu Bunda di teras untuk menanyakan tentang aku mau dipondokkan di mana.

“Bunda…”  panggil aku dengan semangat.

“Iya sayang, ada apa?” tanya bunda antusias.

“Bunda mau memondokkan aku di mana?”

“Oh…Bunda akan memondokkan kamu di sebuah pondok pesantren yang sangat nyaman dan indah,”  jelas bunda dengan semangat.

“Di mana, Bun, tempatnya?” tanyaku tak kalah semangat dari Bunda.

“Tempatnya ada di jantung kota Lasem, persisnya di Kauman, Desa Karangturi Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. Jawa Tengah. Banyak orang menyebutnya dengan kota toleransi. Bunda membayangkan betapa nyamannya dan tentramnya hidup di sana. Pondoknya unik, Ana,” jelas Bunda.

Masih mendengarkan dengan saksama, dan kubertanya. “Unik bagaimana, Bun?”

“Iya unik, pondok tersebut dibangun di tengah-tengah komunitas non-muslim. Banyak orang bermata sipit di sana. Masyarakat lasem menyebutnya kawasan tersebut dengan pecinan. Mereka hidup di sana berdampingan nyaman dan tentram. Berbeda dengan di sini nak. Toleransi sosial agama di sana dijunjung tinggi oleh warga pesantren maupun penduduk sekitarnya. Sifat saling menghargai kebebasan beragama, kemajemukan dan hak asasi, menjadi terciptanya lingkungan yang kondusif,” jelas Bunda dengan detail.

“Waw… sepertinya seru ya Bun?” terpukaulah aku dengan cerita Bunda. “Dari mana Bunda tahu tentang pondok pesantren tersebut dan apa namanya Bun?” tanyaku penasaran.

“Nama pondok tersebut adalah Pondok Pesantren Kauman Lasem. Bunda dikasih tahu oleh teman bunda SMP, dan kebetulan alumni sana, Nak.”

Tanpa kusadari, Kak Sena ikut menyimak Bunda dan bertanya.

“Kapan Ana berangkat Bun?”

Aku dan Bunda menoleh. Dan dijawab Bunda.

“Ana berangkat 3 hari lagi Sen. Jadi kamu bantuin Ana untuk bersiap-siap, apa saja yang diperlukan  untuk dibawa ke pondok”

“Siap, Bunda.” jawab Kak Sena semangat.

Kita bertiga tertawa melihat tingkah kakakku yang berubah menjadi baik dan konyol.

                                                            ***

Tiga hari berlalu cepat. Hari di mana aku akan melawan penyakitku, melawan rasa takut pada dunia luar.

“Ana … Kakak punya sesuatu buat kamu.” ucap Kak Sena memecah keheningan di dalam mobil.

“Apa Kak?” kubertanya dengan lembut.

“Ini adalah buku warna, dengan bantuan buku ini kamu bisa mengelola stres atau ketakutanmu lewat sini. Ekspresikan amarahmu di sini Na. Ini adalah salah satu terapi untuk menyembuhkan penyakitmu. Dan serta berhenti memikirkan masalahmu.”

Tersenyumlah aku. Aku tahu bahwa kakakku adalah kakak yang baik. Bukan yang selalu membanting gelas dan marah-marah.

“Terima kasih, Kak.” jawabku senang.

Pada saat itu juga, mobil yang dikendarai oleh sopir taksi berhenti di depan pondok pesantren. Aku menguatkan tekad dengan sepenuh hati, untuk membuka pintu mobil.

“Demi kesembuhanku aku harus melawannya,” batinku.

Akhirnya, aku telah berhasil membuka pintu mobil. Diam. Aku melihat sekitar lingkungan pondok yang terlihat asri dan indah. Banyak bangunan Cina yang membuat keunikan di sini.

“Ana, ayo turun! Bunda yakin kamu bisa!” Bunda meyakinkanku. Bunda tahu bahwa apa yang aku pikirkan dan rasakan.

“Eh…iya Bun, Ana akan melawannya,” jawabku dengan ragu.

Dan digandengnya aku sama bunda dan kakak. Tiba-tiba bayangan masa lalu datang. Ayah dikeroyok. Namun, aku segera menepisnya. Akhirnya aku bisa sampai depan pondok dan menuju ndalem. Aku, Bunda, dan Kak Sena bertamu di sana.

Dengan ramah Bu Nyai menyambut kita dan menjamu dengan baik. Tiba-tiba aku merasakan kenyamanan di sini. Tidak ada rasa takut itu lagi. Bunda menjelaskan  tentang penyakitku kepada Bu Nyai, agar tidak kaget ketika penyakitku kambuh. Dan Bu Nyai menerima kekuranganku.

Hari mulai sore. Matahari mulai menenggelamkan diri. Setelah berbincang-bincang dengan Bu Nyai selesai. Dan urusan daftar pondok dan sekolah beres. Bunda dan Kak Sena berpamitan kepadaku untuk meninggalkan aku di pondok.

“Anakku Sayang, yang pinter, ya, mondoknya! Semoga dengan kamu di sini kamu bisa sembuh dan meraih mimpi-mimpimu. Bunda yakin kamu punya mimpi yang besar,” ucap Bunda kepadaku dengan menahan tangis di pelupuk matanya, begitupun Kak Sena. Aku bisa melihatnya.

“Iya, Bun. Ana pasti bisa. Ana ingin membahagiakan Bunda, Kak Sena, dan juga Ayah. Ana capek mengecewakan kalian terus.” Itu yang kukatakan pada Bunda dan Kak Sena. Aku tidak boleh lemah. Apalagi di depan mereka. Meski di lubuk hati, aku ingin menjerit.

Bunda dan Kak Sena mulai masuk ke dalam mobil. Aku berada di seberangnya menunggu mobil tersebut hilang tanpa menyisakan bayangan. Mobil belum berjalan. Tiba-tiba ada motor yang dikendarai anak muda, melaju dengan cepat dan menyerempetku.

Braaakkk…

Aku berguling di jalanan. Aku melihat Bunda dan Kak Sena berteriak histeris. Tapi tangan dan kakiku terasa bergetar hebat. Penglihatanku mulai tergangu karena air mata ketakutan. Ya, penyakit itu lagi-lagi kambuh. Seketika itu para santri berkumpul mengelilingiku. Aku hanya bisa menunduk. Mulutku mulai meracau di dalam pikiranku.

“Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka akan menyakitiku? Apakah mereka akan mengeroyokku, seperti ayah?”

Ketika ada santri yang mulai mendekat untuk menolongku. Aku berteriak histeris. “Jangan sakiti aku! Aku mohon… jangan bunuh aku! Jangan membuatku malu! Aku mohon jangan….”

Para santri terheran melihat tingkah dan sikapku seperti itu. Bunda dan Kak Sena berlari membubarkan segerombolan santri yang mau menolongku. Dan memelukku erat. Dan pada saat itu, aku merasakan kenyamanan itu kembali. Tak ada rasa takut. Tepat di situ Tuhan telah manarik jiwaku menuju batas langit tertinggi. Menuju kehidupan yang abadi dan berpisah dengan keluarga yang aku sayangi. Aku menjemputmu Ayah.

Bukan lantas diam. Kau harus tetap berjalan. Kuasa Tuhan bekerja dengan cara yang tak pernah terduga. Kau hanya perlu percaya dan tawakal.

                                                -SELESAI-

Cerita Pendek oleh Hidayatus Sholikhah

MA AL HIDAYAT LASEM

Pondok Pesantren Kauman Lasem

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑