Toleransi, Klik!

Kricik Kricik kricik

Bunyi gemericik air terdengar dari arah kamar mandi. Aku yang tidur di kamar paling ujung, berdampingan dengan kamar mandi, terbangun. Dan menuju ke tempat wudhu. Kutengok ke semua sudut ruangan, telah kosong. Hanya terdapat beberapa santri putri yang sedang berhalangan. Mereka masih tertidur.

Musala yang tadi sangat sepi, tiba-tiba ramai dengan para santri yang sedang melakukan kegiatan apa pun. Ada yang membaca Al-Qur’an, mengulangi pelajaran, dan masih juga ada yang tertidur. Azan subuh pun berkumandang dari musala santri putra.

 “Allahuakbar!  Allahuakbar!”

Dinda menghampiriku yang sedang membaca Al-Qur’an dan mengajakku untuk persiapan salat, serta menempati shaf paling awal.

“Fani! Ayo, sini, shaf paling depan aja,” panggilnya, dari barisan yang paling depan.

“Iya, sebentar,”  jawabku sambil berjalan menghampirinya.

Mimi pun memasuki musala putri, dan mengimami jamaah salat subuh. Mimi, panggilan akrab kami kepada beliau. Yang merupakan pengasuh kami, di Pesantren Kauman ini. Setelah selesai salat, Dinda kembali menghampiriku.

“Fani, nanti setelah mengaji Abah, kita jalan-jalan yuk!” Ajaknya.

“Okelah, sesekali saja,” jawabku.

Selang beberapa menit, suara kentongan terdengar sangat nyaring di telingaku.

Tong! tong! tong!

Suara kentongan tersebut menunjukkan, bahwa kegiatan mengaji akan segera dimulai. Memang telah menjadi ciri khas bagi Pesantren Kauman ini, setiap kegiatan yang penting, selalu menggunakan kentongan. Aku, yang kebetulan pada saat itu sedang merapaikan rak buku, merasa terburu-buru. Dan dari kejauhan, terdengar suara senior, sedang menyuruh santri yang lain untuk segera menuju ruang pengajian. Tepat saat itu, salah satu dari mereka memasuki kamarku, dan melihatku yang sedang merapikan rak buku.

“Fani! Ayo, cepat pergi ke tempat ngaji!” Perintah seniorku yang bernama mbak Annisa.

“Iya, mbak, sebentar, ini lagi kerudungan,” balasku sambil merapikan kerudung yang sedikit berantakan.

***

Menit berujung menit. Satu jam pun berlalu. Akhirnya kegiatan mengaji pun telah selesai. Akan tetapi, sebelum Abah Ahmad membubarkan pengajian, beliau sempat berbicara pada kami.

“Anak-anakku sekalian, kita hidup di pesantren ini yang mayoritas penduduknya adalah orang Cina, hendaknya kita selalu mendahulukan, menerapkan keharmonisan pada mereka, dan menjunjung tinggi rasa toleransi pada mereka. Kalian harus bisa bermasyarakat. Meskipun, hanya saling tegur sapa dengan mereka, di saat kalian sedang keluar, dan melewati perkampungan mereka. Paham, kalian?” tanya Abah.

“Insyaallah, Abah,” jawab kami serempak.

Ngaji pun telah usai, Dinda menghampiriku.

“Fani, ayo, berangkat!” ajaknya.

“Iya, sebentar,  aku ambil sandal dulu!” balasku berusaha menggunakan sandal.

Aku dan Dinda berjalan menyusuri dari gang satu ke gang lainnya, dan melihat pemandangan yang terjadi pada pagi hari ini, di kota Lasem.

 Lasem adalah kota yang indah. Lasem juga merupakan, tempat awal pendaratan orang Cina di Pulau Jawa. Karena itu, kota ini memiliki banyak perkampungan Cina dengan deretan bangunan kuno yang unik.

 Bahkan dengan penduduknya yang mayoritas adalah orang Cina, masyarakat di kota ini, sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Karena adanya perbedaan agama, dan budaya dalam kehidupan mereka.

 Perkampungan Cina di kota ini, Memiliki struktur bangunan yang sangat indah. Baik dari dindingnya yang menjulang tinggi seperti benteng, pintunya yang khas akan tulisan Cina, ataupun atapnya yang bernuansa campuran antara Jawa dan Cina. Apalagi di saat matahari mulai tenggelam, suasana di kampung ini sangat indah untuk didokumentasikan.

Kami pun berjalan terus, sehingga sampailah kami pada gang yang terdapat sebuah klenteng kecil. Yaitu tempat peribadahan orang Cina.

“Fan! Mau masuk apa tidak?” tanyanya padaku.

“Tidak usah, mendingan kita jalan aja terus, lihat pemandangan yang lain,” balasku padanya.

Tak terasa aku dan Dinda berjalan, kami pun tiba di perkampungan penduduk muslim. Pesantren Kauman ini selain bertetangga dengan orang Cina, juga bertetangga dengan orang muslim. Yaitu, Desa Kauman.

Ketika aku dan Dinda sedang asyik berjalan, tiba-tiba seorang ibu menghampiri kami.

“Ini, Dik, ada sedikit nasi bungkus untuk dimakan rame-rame dengan temannya, sebagai rasa syukur kami,” kata ibu tersebut sembari memberikan bungkusan.

“Terima kasih, Bu, sudah repot-repot,” jawab kami.

“Iya, sama-sama, semoga menjadi berkah ya, Dik,” ucap ibu tersebut.

“Amiin,” kami pun mengamini.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan untuk pulang ke pesantren.

***

Pagi ini langit terlihat cerah, awan pun tak menunjukkan akan turun hujan. Saat ini aku sedang duduk didekat jendela kelas, menatap langit yang seolah-olah tersenyum padaku.

Teeet teeet teet.

Bunyi bel terdengar dari arah kantor, para santri pun bersegera untuk memasuki kelas mereka, dan memulai pelajaran. Inilah yang kutunggu dari tadi. Yaitu, pelajaran Al-Qur’an dan hadist yang gurunya adalah pengasuh kami sendiri. pelajaran pun dimulai. Ketika di pertengahan pelajaran, beliau bercerita tentang Abah Ahmad, yang dimintai oleh orang Cina untuk berdoa di rumahnya. karena ada keluarganya yang meninggal. Kebetulan juga, pelajaran Al-Qur’an dan hadist ini membahas tentang agama Islam yang mengajarkan sikap toleransi dan menghormati satu sama lain.

Saat itu Abah sedang berbincang-bincang dengan tamu, kemudian datanglah seorang warga Cina, dan meminta kepada Abah untuk mendoakan kakaknya yang telah meninggal. Abah tampak berpikir sejenak, kemudian beliau menyetujui permintaan orang Cina tersebut. Mimi yang saat itu ikut mendengar pecakapan Abah dengan orang Cina, sangat terkejut, akhirnya Abah bercerita pada Mimi dan juga para tamu.

“Mimi, saya teringat dengan kisahnya Mbah Bisri. Mbah Bisri adalah salah satu Kyai asal Rembang. Saat itu beliau dimintai oleh seorang Cina untuk mensalatkan jasad saudaranya. Padahal saat itu Mbah Bisri sangat kebingungan, sehingga munculah ide yang membuat Mbah Bisri menyetujui orang Cina tersebut,” cerita Abah.

“Selanjutnya, bagaimana, Abah?” tanya Mimi.

“Mbah Bisri pun berkeliling pondoknya, dan mencari santri yang tidak ikut salat berjamaah asar di musala. kemudian Mbah Bisri menemukan mereka, dan menyuruh mereka untuk salat asar di rumah orang Cina, dengan niat mereka salat asar, serta mayit tidak berada di depan, akan tetapi di samping mereka. Nah, dari situlah Abah termotivasi oleh Mbah Bisri,” lanjut Abah.

 Kemudian, Abah langsung memanggil santri putra, dan menyuruh mereka untuk berdoa di rumah warga Cina, dengan niat mendoakan keluarga mereka yang telah meninggal. Orang Cina tidak akan mengerti tentang hal itu, karena yang mereka pahami adalah telah didoakan oleh santri putra.

Kemudian pelajaran Al-Qur’an dan hadits pun selesai.

“Fani!” Panggil Dinda yang sedang berdiri di depan pintu.

“Iya,” balasku.

“ Apa kamu paham, yang dibahas Mimi tadi?” tanyanya padaku.

“Iya, paham,” ucapku.

“Tolong jelaskan lagi untukku, hehehe,” pintanya sambil nyengir.

“Okelah,” balasku.

Kemudian, Dinda menghampiriku.

“Jadi begini, Mimi tadi menjelaskan pada kita, yang salah satunya tentang manusia memiliki tiga tali persaudaraan. Yaitu, tali persaudaraaan antar umat islam, tali persaudaraan antar sesama manusia, dan tali persaudaraan antar Negara. Sedangkan, yang kita bahas di kelas adalah persaudaraan antar sesama manusia. kita sebagai manusia dan juga bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman budaya, suku, serta sumber daya yang melimpah. Apalagi dengan keragaman sukunya. salah satunya etnis Cina, yang sekarang tinggal di kota lasem. Kita diajarkan untuk saling menghormati, menghargai, dan saling tolong menolong. Seperti yang telah Mimi ajarkan tadi,” terangku padanya.

“Apa kamu masih ingat?” tanyaku.

“Sangat ingat,” jawabnya.

“Nah, itu pelajaran yang kita bahas tadi. Jadi, toleransi itu sangat penting. Namun, ada batasanya. Apa kamu tau batasan toleransi Dinda?” tanyaku lagi.

“Tidak,” jawab Dinda.

“Batasannya, yaitu akidah,” ucapku.

 Dinda pun mengangguk. Tanda mengerti.

“Oh, oke, terima kasih Fani,” katanya.

“Sama-sama,” balasku.

Selesai.

Oleh: Inayah Demuna

MA AL HIDAYAT LASEM

Pondok Pesantren Kauman Lasem

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑