Berhentilah Beramal!

Pagi hari selalu menjadi rutinitas sibuk bagi lelaki paruh baya itu. Sejak subuh dia sudah bangun. Melakukan sholat subuh, lalu pergi berjalan mengelilingi jalan setapak yang sering dia lewati. Mencium bau busuk hingga mengambil barang-barang yang biasa di sebut sampah, adalah pekerjaannya untuk menghidupi seorang anak yang diasuhnya dari pinggir tempat sampah. Menghidupinya, hingga menyekolahkannya.

 “Ayah!” panggil seorang anak lelaki berusia 12 tahun yang sudah menjadikan nya sebagai tulang punggung. Dia tersenyum lembut menatap anak itu.

“Kau akan pergi ke sekolah, Nak?”

Anak itu menganggukkan kepalanya, tidak memakai seragam, membawa sebiji buku tulis bekas, dan pensil sebesar jari tengah yang dibelinya dari tukang rongsok dekat rumah.

 Pagi hingga siang dia habiskan untuk mengelilingi pusat kota, istirahat sejenak, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Uang yang didapatkannya pun tak seberapa, cukup untuk makan dan bisa disisihkan untuk amal.

                                                     ***

Kesekian kalinya, sang ayah menerima laporan dari pihak sekolah anaknya. Dia harus menemui kepala sekolah sang anak.

“Maaf, Pak. Sekolah ini sudah tidak menyediakan biaya siswa untuk anak tidak mampu.” 

Apa-apaan ini? Batinnya bingung.

 Dia tak mampu membantah guru itu. Berjalan pergi mencari keberadaan sang anak, yang akan di bawanya pulang bersama.

“Ayah! Kenapa kesini?” tanya anak lelaki yang dicarinya sejak tadi.

“Ayo, Nak, pulang,” ajaknya dengan menggandeng tangan sang anak.

 Mendengar ayahnya berkata dengan lemas, sang anak pun tak ingin bertanya lebih, karena khawatir akan menyakiti hati ayahnya. Mereka berjalan pulang beriringan, hingga suara sang ayahlah yang  memecah keheningan.

“Nak, apa kau lapar?” tanya sang ayah tiba-tiba berhenti mendorong gerobak sampahnya.

 Sang anak hanya diam dengan menatap wajah ayahnya. Terlihat gurat lelah disana.

“Kita beli nasi bungkus di depan sana,” katanya dengan menunjuk warung depan yang tak jauh dari mereka.  

Melihat anaknya makan tidak semangat, sang ayah pun bertanya.

 “Apa makanan mu tidak enak, Nak?”

 Sang anak hanya mampu menggelengkan kepala lemas. Dia paham, bahwa makanan yang dibeli ayah bersamanya tadi, hanya sebungkus nasi dan tempe tepung saja.

                                                 ***

 “Ayah, aku ingin makan seperti teman-temanku. Mereka dibawakan sekotak nasi dengan lauk pauk yang beragam,” kata sang anak akhirnya.

 Sang ayah terkejut mendengar ucapan anaknya. Dengan sabar, dia mengelus kepala sang anak sambil berkata,

 “Nak, temanmu yang membawa nasi dengan beraneka macam lauk itu berapa banyak?”

 Sang anak mencoba berpikir, “Banyak, Yah!”

 Sang ayah lagi-lagi tersenyum lembut melihatnya.

 “Sedangkan yang makan nasi dengan lauk tempe tepung berapa banyak?” tanya sang ayah lagi.

 Sang anak menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Hanya aku, Yah,” jawab sang anak dengan lemas.

 Sang ayah kembali mengelus kepala anaknya dengan berkata, “Berarti kau adalah anak yang istimewa. Sebab semua temanmu makan dengan lauk yang sama, sedangkan kau dengan tempe tepung saja,”  kata ayahnya mencoba menghibur hati sang anak.

                                                 ***

Malam semakin larut, ketika yang terdengar hanyalah suara jangkrik, bukan suara motor yang menderu-deru. Di dalam rumah, sang anak hanya mampu memejamkan mata sambil membolak-balikkan tubuh kurus nya dengan resah. Sepertinya ayah sudah tertidur nyenyak, batinnya. Dia berpikir, kapan dia akan hidup seperti teman-teman nya?, diantar menggunakan sepeda motor, dibekali sekotak nasi dengan lauk yang beragam, mengenakan seragam, memakai tas punggung yang akan terlihat gagah saat dipakai. Ah, itu hanyalah angan-angan sederhana dari seorang anak penyapu jalanan. Saking fokusnya berangan, dia tak sadar jika ayahnya terbangun karna merasakan anaknya yang terus menerus bergerak hingga membuat kasur yang mereka tiduri itu tak nyaman.

“Nak, mengapa kau bangun tengah malam begini?” tanya sang ayah sambil meraba-raba sampingnya karena tak ada listrik di rumah mereka.

“Aku hanya sedang tidak mengantuk, Yah,” jawab sang anak menyahuti pertanyaan ayahnya. Ayah hanya diam saja, apakah ayah sudah tertidur kembali? Batin sang anak bertanya-tanya.

“Kau sedang sibuk berpikir apa,Nak? hingga membuatmu tak bisa tertidur?” kata ayah yang membuat sang anak menoleh ke sumber suara. Dengan sedikit takut, sang anak kembali memberanikan diri bertanya kepada ayahnya.

“Kenapa, Ayah selalu menyisihkan uang untuk beramal? Padahal hidup kita begitu pas-pasan?”

Yang terdengar bukanlah jawaban,  melainkan helaan napas dari sang ayah. Sang anak yang merasa tak enak dengan ayahnya. Dia hanya mampu berkata,

“Maafkan aku, Ayah,” kata sang anak akhirnya. Tidak ada sahutan dari sang ayah. Malam yang mereka lalui kini terasa berbeda dari biasanya.

                                                      ***

Keesokan harinya, sang anak terbangun dari tidurnya. Dia berpikir bahwa ayahnya telah pergi bekerja. Dia berjalan menuju sumur di belakang rumah untuk menyegarkan tubuhnya. Belum sempat keluar dari kamarnya, sang anak terkejut, ternyata ayahnya belum pergi bekerja.

“Nak, kau sudah bangun? Ayah membelikan nasi untuk makanmu pagi ini,” kata sang ayah tersenyum lembut.

Sang anak hanya terdiam, setelah melihat sekilas kearah ayahnya. Melihat respon sang anak, dia hanya tersenyum. Ah, mungkin sang anak masih  terbawa kantuknya.

                                                 ***

“Lihat ini teman-teman, telepon genggamku baru!” kata anak bertubuh gempal yang berdiri di dekat gawang lapangan.

 Cukup banyak anak yang mengerubunginya, hingga dia tak terlihat. Sang anak yang samar-samar mendengar, merasa penasaran akan hal itu. Dia berlari menuju gawang lapangan, dan melihat telepon genggam canggih yang diinginkannya selama ini.

“Wah, bagus sekali! Ayo kita foto di dekat klenteng merah. Disana pasti banyak orang-orang luar yang berfoto juga,” timpal seorang anak bertubuh sedikit kurus dengan senyum bahagianya.

“Iya, sekalian beli kopi lelet  di warung Mbok Ju, aku yang bayar!” balas seorang anak berkaus kuning, dengan mengacungkan uang sepuluh ribu rupiah.

Mendengar tawaran itu, disambut meriah oleh yang lainnya. Sang anak tersenyum, kemudian berkata.

 “Aku ikuuut!”

Mereka terdiam sejenak. salah satu dari mereka maju, kemudian mendorong pundak sang anak.

 “Hei, ikut katamu? Uang saja, kau tak punya. Kau, pikir aku juga akan membayarkan kopimu?”

Mendengar ucapan temannya, sang anak menahan tangis, memang benar dia tak pernah memegang uang saku seperti yang lainnya. Sang anak berlari pulang dan menghiraukan caci maki temannya.

                                                     ***

Malam harinya, sang ayah mengajak anaknya untuk berjalan-jalan mengelilingi Alun-Alun Kota Lasem. Mereka berjalan tanpa  suara. Hingga sang anaklah yang memecahkan keheningan.

“Ayah, berhentilah beramal! Aku ingin hidup seperti teman-teman,” kata sang anak dengan menahan isaknya.

Sang ayah melihat anaknya tak percaya.

“Nak, kau lihat orang yang berjualan kacang rebus itu?” tunjuk sang ayah, kepada nenek-nenek tua berpakaian lusuh yang duduk di pinggir jalan.

 Sang anak melihat sekilas kemudian memberikan anggukkannya.

“Coba kau lihat betul-betul, ada apa disana?” kata sang ayah yang masih menunjuk kearah nenek itu.

“Kacang rebus,” jawab sang anak yang terlihat sangat bingung dengan pertanyaan ayahnya.

Ayahnya tersenyum maklum,

 “Bukan, bukan itu maksud Ayah. Lihat pakaiannya, lebih bagus punya kita. Ayah tidak mengajarkan sombong padamu, tapi alangkah baiknya kita bersyukur. Ternyata di luar sana masih banyak yang membutuhkan bantuan,”  kata sang ayah, yang tak direspon oleh anaknya.

                                                     ***

Suatu malam, sang anak bertanya.

“Yah, aku ingin bekerja seperti orang-orang dewasa lakukan.”

Sang ayah spontan langsung menggeleng, “Tidak! Belum saatnya kau bekerja anakku.”

Tak mengindahkan nasehat ayahnya, sang anak kembali membantah.

           “Tapi kita selalu dalam kesusahan, Yah! Aku ingin seperti teman-temanku lainnya. Punya telepon genggam bagus, punya uang banyak!”

Ayahnya kembali bersabar, “Bersyukurlah, Nak! Allah mengizinkan kita hidup dengan sederhana.”

Sang anak hanya diam mendengar penuturan ayahnya.

                                                      ***

Siang hari yang terik, di pasar yang tak jauh dari rumahnya, sang anak berjalan-jalan. Dia berpikir keras, andai dia bisa hidup seperti teman-temannya. Kemudian, terlintaslah pikiran itu. Dia melihat ada ibu-ibu yang memegang dompet cukup besar. Tanpa menunggu waktu yang cukup lama, dia berlari secepat angin, menembus kerumunan orang yang berlalu lalang di depannya. Sesaat, dia sudah mencekram kuat dompet itu. Dia takut, tapi desakan ekonomi lah yang membuatnya begini. Dia terus berlari hingga dirasa aman. Kemudian berteduh di bawah pohon yang rindang. Dia tidak berani sama sekali membuka dompet itu. Hanya di genggamnya kuat-kuat dengan kedua tangan kecil yang dimiliki. Cukup lama, hingga dia melihat ayahnya mendorong gerobak sampah dengan lelah. Dia berlari menuju arah ayahnya.

“Yah, sudah tidak usah bekerja lagi menjadi tukang sapu jalanan. Jadi perampok saja, biar cepat punya uang banyak! Seperti aku ini,” katanya dengan bangga. Seolah itu adalah kehormatan untuknya.

Mendengar ucapan sang anak, ayahnya sangat marah. Dari mana anaknya belajar hal ini?

“Kau merampok, Nak?!” tanya sang ayah dengan nada sedikit bergetar.

Sang anak menatap mata sang ayah, terlihat sekali mata ayahnya memerah. Dengan ragu sang anak menganggukkan kepalanya. Ayahnya sangat terkejut, sungguh!

“Siapa yang kau rampok?!” tanya ayahnya dengan nada tak seperti biasanya.

Sang anak hanya menggeleng pelan.

 “Kembalikan dompet itu! Ayah sangat marah padamu, Nak!”

Sang anak menangis didepan ayahnya,

“Seandainya Ayah selalu mencukupi kebutuhanku, dan memberiku barang-barang seperti yang dimiliki teman-temanku, aku pasti takkan merampok, Yah!”

Mendengar ucapan anaknya, sang ayah menamparnya.

“Dengarkan ini baik-baik. Diluar sana banyak sekali orang yang hidupnya lebih kekurangan dibanding kita! Bersyukurlah, Nak! Kita bisa makan dengan nasi yang baik. Kita bisa tinggal ditempat yang baik. Ayah beramal untuk apa, kau masih ingin bertanya jawabannya, bukan? Untuk hidup kita di akhirat nanti, Nak!”

 “Sungguh, maafkan aku, Ayah.”

SELESAI.

Cerpen oleh : Nur`aini

MA Al Hidayat Lasem

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑