Santri Kucing

Malam semakin mencekam. Hujan deras, petir menggelegar. Tak seorang pun keluar rumah malam ini. Semua orang memilih berdiam diri di dalam rumah, menutup jendela dan pintu.

Di dapur ini gelap, sunyi, hanya ada aku di sini.Pyaarr. suara benda pecah membuatku kaget. Di belakangku, aku melihat sosok bayangan besar dan mengerikan. Seketika itu badanku gemetar ketakutan. Aku bingung harus melakukan apa, apakah aku harus lari? atau harus memastikan itu bayangan apa? Aku berpikir itu adalah monstermengerikan yang kelaparan dan akan memakanku. Dengan sisa-sisa keberanian, perlahan aku membalikkan badan.

“Meong…,” Aku terlonjak kaget, itu adalah Moza teman dekatku.

“Moza! ngagetin aja, aku kira kamu monster jelek yang mengerikan,” ucapku jengkel.

“Hehe… mana ada monster cakep kayak aku,” ucap Moza menyombongkan dirinya. Moza memang selalu manganggap dirinya paling keren.

“Kamu itu dari mana tho? Hujan-hujan jam segini baru pulang,” tanyaku.

“Haha… biasalah nom-noman, ngopi sambil ngobrol,” jawab Moza, aku hanya mengangguk dan ber-oh saja.

“Hmm… ngomong-ngomongkamu ngapain jam segini masih didapur, mau ngambil makanan kan?” Tebak Moza.

“Hehe… tahu aja kamu. Kayaknya kamu bawa makanan, bagi dong,” aku merebut plastik yang ada di tangan Moza dengan cepat dan membukanya.

“Apaan nih, gorengan sama kopi doang,” ucapku tidak puas dengan yang dibawa Moza.

“Dasar teman nggak tahu terima kasih. Udah ngambil makanan orang, masih saja maido,” kesal Moza.

“Hehe… iya maaf. Terimakasih ya Moza,” kataku cengengesan.

“Nah, gitu dong . Itu bukan sembarangan kopi,” ucap Moza.

“Apa bedanya, sama hitamnya kayak kopi-kopi lain. Mungkin rasanya juga sama umumnya kopi,” bantahku pada Moza.

“Kamu itu harus sering-sering belajar sejarah. Masa gini aja nggk tahu,” ledek Moza.

“Emang ini kopi opo tho?” Tanyaku.

“Ini kopi lelet, khas daerah sini. Kopi lelet udah terkenal lho. Orang yang dari luar kota ini aja tahu masa kamu yang tinggal di kota ini nggak tahu,” ujar Moza.

“Ooh… kopi lelet ini yang sering dicari orang-orang kalau ke sini?” Tanyaku, aku memang kurang tahu tentang kota ini.

“Iya, kopinya enak kok, beda sama kopi-kopi lain,” jelas Moza .

“Aku minum ya,” aku tertarik untuk mencobanya.

Monggo, dihabiskan juga boleh. Hati-hati kalau ketagihan,” kata Moza.

“Enak juga ya, rasanya beda sama kopi-kopi yang sering aku minum,”tanpa menunggu lama aku telah meneguk habis kopi Moza.

Aku dan Moza bercerita hingga larut malam, sebenarnya Moza yang lebih banyak bercerita, dia bercerita tentang kota ini. Aku belum tau banyak tentang kota ini. Sebab, aku belum lama tinggal di kota ini, Kota Lasem.

Oh iya,Aku dan Moza adalah seekor kucing, kalian sudah tahu kan?

Kami tinggal disalah satu pesantren di Lasem, Jawa Tengah. Pesantren tersebut berada ditengah-tengah perkampungan dengan etnis Thionghoa. Meskipun begitu, para santri tetap toleran terhadap warga setempat. Jika mbak-mbak dan kang santri berpapasan dengan masyarakat Cina, mereka akan menyapa dengan sapaan  “permisi cik” atau “permisi koh” sebagai bentuk tanda hormat. Itulah salah satu sebab masyarakat Cina setempat juga menghormati setiap kegiatan di pesantren.

 Hmm… kadang aku berpikir ingin menjadi manusia saja seperti santri-santri, bisa merasakan bagaimana menyenangkannya bisa membaur dengan masyarakat cina. Tapi aku masih bersyukur, meskipun aku seekor kucing, aku masih bisa tinggal di sekeliling orang-orang yang hidup rukun dan selalu menghargai setiap perbedaan.

Oh iya… sebenarnya kucing yang tinggal disini bukan hanya aku dan Moza saja. Ada Momokucing betina dengan badan besar dan berwarna cokelat. Dia sering berada di kantin pesantren, Momo telah memiliki 5 anak. Ada juga Bores, aku selalu kasihan jika melihat Bores. Badannya kecil, dia memiliki luka-luka dikulitnya. Aku tidak tahu itu luka apa. Tapi, mbak-mbak biasa menyebutnya gudiken. Satu lagi, Glowing. Dia memang kucing yang paling bersih di antara kami, mungkin itu sebabnya mbak-mbak memanggilnya Glowing.

Dan aku, Ichi. Kucing yang paling menggemaskan di sini, membuat teman-temanku iri. Bagaimana tidak, mbak-mbak selalu saja memanggilku, bahkan menggendongku. Yang memberiku nama adalah mbak Reni. Aku ingat betul perkataannya waktu itu, “Wah… kamu lucu baget. Aku panggil Ichi ya, kamu seger dilihatnya kayak minuman Ichi Ocha, Hehe…,”. Nah, dari namaku saja sudah menggemaskan bukan? sebenarnya aku ingin membantah perkataan mbak Reni, bagaimana mungkin mbak Reni menyamakanku dengan minuman. Tapi, sudahlah aku terima saja. Nama Ichi bagus juga.

Selain kucing, ada juga binatang lainnya. Bebagai macam ikan, penyu, burung dan ayam.Abah kyai sangat senang dengan binatang, itu sebabnya di pesantren banyak binatang. Bersama para santri Abah merawat kami . Kami selalu diperlakukan dengan baik dan diberi makan tepat waktu.

Abah adalah salah satu idolaku. Beliau selalu tegas, dan cepat menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan dari santri. Beliau suka kebersihan, kawasan pesantren harus terlihat bersih. Kadang setiap selesai mengaji abah akan berkata “Mbak, kang,  jumputi daun ya. Satu orang lima daun saja,”.

 Jika ada santri yang berbuat tidak pantas,abah akan menghukumnya. Tidak peduli apakah itu gus atau ning. Abah memperlakukan semua santri sama, tidak pernah membeda-bedakan. Aku ingat kejadian saat sandal tamu dighosobkang santri. Dengan tegas abah memerintahkan semua santri putra berkumpul di depan ndalem.

“Kang-kang, siapa yang ghosob sandal tamu di depan musala?” Tanya abah dengan tegas.

Tidak ada yang mengaku, semua santri hanya berbisik-bisik “Siapa ya, kok berani sekali ghosob sandal tamu,”

“Sandalnya Swallow warna hijau di depan musala, yang ghosob langsung maju ke depan sini!” Perintah abah.

Salah satu santri maju, matur abah “Nyuwun sewu, abah, sepertinya tadi kang Ilham yang memakai sandal swallow hijau di depan mushola,”

“Ilham? Di mana Ilham?” Tanya abah.

“Di gladak abah, tidur,” jawab kang Aziz, teman sekamar kang Ilham.

“Tolong dipanggil suruh ke sini,” perintah abah. Kang Aziz langsung berlari memanggil kang Ilham.

Setengah sadar kang Ilham menghadap abah, seketika itu abah memukul kaki kang Ilham dengan kayu, di depan semua santri. Semua bergidik ngeri, termasuk mbak-mbak yang menyaksikannya di belakang. Itu untuk pertama kali aku melihat abah sebegitu marah hingga memukul kaki santri. Namun, aku tahu itu semua untuk mendidik para santri agar tidak ghosob. Dalam pengajiannya abah sering menjelaskan tentang ghosob. Meskipun aku bukan manusia seperti santri-santri abah yang lain, aku sering ikut mendengarkan pengajian abah.

“Mbak, kang, ingat ya! Jangan sampai kalian ghosob barang orang lain,” ucap abah tegas.

Nggeh, abah,” jawab santri serentak.

“jangan nggeh nggeh tok, ora kepanggih. Jika temane sampean ada yang ghosob sandal langsung pentung sikile. Kalau dia tidak terima, suruh menghadap saya,” jelas abah.

Aku selalu kagum dengan abah, beliau selalu memberi contoh dan menerapkan kebiasaan baik kepada santri-santri. Hal-hal sepele tapi dapat membuat orang senang selalu diajarkan kepada para santri. Seperti halnya, jika ada tamu langsung dipersilakan masuk dan dibuatkan minuman. Memulyakan tamu memang dianjurkan dalam ajaran rasul, aku tahu itu dari abah.

Aku pernah bercita-cita menjadi kyai seperti abah, rasanya aku ingin mendirikan pesantren untuk para binatang. Terdengar aneh memang.

“Haha… kamu itu ada ada saja Ichi. Kita ini binatang, mana ada binatang jadi kyai,” itulah tanggapan teman-temanku saat aku mengemukakan keinginannku.

“Memang kenapa, berarti aku binatang pertama yang jadi kyai dan punya pesantren dong, kan keren,” jawabku tidak terima.

“Sudahlah Ichi. Walaupun kamu tidak jadi kyai dan punya pesantren tidak apa apa. Asalkan kamu pandai ilmu agama, kamu bisa mengajari binatang-binatang lain yang kurang tahu ilmu agama,” kata Momo menjelaskan.

Aku pikir benar juga perkataan Momo, aku tidak harus menjadi kyai dan punya pesantren dulu untuk membagi ilmu dan menjadi panutan. Lagipula aku sering ikut pengajian abah. Aku cukup mendengarkan dan melaksanakan setiap kajian yang disampaikan oleh abah. Lalu, aku menjelaskannya pada teman-temanku yang kurang paham. Itu akan bermanfaat sekali. Seperti dawuh Abah waktu itu, “apapun yang kamu dapat, sebanyak apapun ilmumu, ajarkanlah pada yang lain, agar menjadi manfaat.”

Cerpen oleh: Lu’lu’ Istiqomah

MA Al Hidayat Lasem

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑