Pupus Puspa

Prok prok prok. Jejak langkah kaki  membekas di jalanan. Pekatnya langit belum memberikan isyarat datangnya surya pemberi penghidupan dan ketentraman. Jam dinding tepat menunjukkan pukul 3 pagi. Dengan cengkeraman tongkat di tangannnya, lelaki paruh baya menapak menyusuri jalanan berlubang. Jejak langkahnya yang terdengar di setiap sudut asrama. Brukk. Bunyi nyaring hempasan tongkatnya jatuh ke tanah.

‘’Tangi o le… wayahe solat dudu ngiler wae, kapan ora tangi? Titenono!’’

Tarji, Waluyo, dan Santoso membuka mata dengan kaget. Napasnya terengah-engah.  Meskipun cuaca pagi ini cukup dingin karena hujan semalam, bajunya basah oleh keringat.Pikirnya hanyalah bunga tidur belaka. Nyatanya, kyai sungguh membangunkannnya dari alam bawah sadar.

Berlari terbirit-birit mengingat ucapannya akan sanksi yang akan diterimannya. Diputarlah keran wudhu. Perlahan tetesnya membasahi tubuh, menusuk sendi-sendi tulang . Celetukan gigi mulai terdengar. Huft, apalah daya. Perlahan melayangkan pandangannya, menepis kantuk yang mulai datang. Bangkit berjalan menuju musala. Menikmati setiap gerakannya,melantunkan doa di setiap sembah sujudnya.

Segalanya berlalu dengan cepat. Diam, membisu, bergeming ketika sebuah kendaraan berhenti di sudut parkiran. Turunlah serombongan orang dengan menggendong tas di sisi kanan dan kirinya dengan maksud berkunjung. Nampak guratan tipis di wajah pemilik rumah pertanda akan bentuk penerimaannya. Senang hati tak terkira. Seorang santri berjalan menuju dapur asrama untuk menyuguhkan hidangan perjamuan. Tercium aroma kopi di setiap sudut ruangan.Tiba saatnya kopi disuguhkan .Tak dapat dipungkiri lagi, diraihnya secangkir kopi hangat, bercakap-cakap ria,sampai terdengar ucapan penuh tanya  dari salah satu tamu.

‘’Apakah betul kopi Lasem ini dijadikan sebagai kekhasan dari kota ini?’’

Sembari meneguk kopi hangat ‘’ memang inilah yang menjadi daya tarik kami karena proses pengolahannya berbeda dengan minuman kopi di tempat lain.’’

Matahari mulai condong ke barat, tanpa kesadaran dari setiap insan kini sudah berada di penghujung waktu. Para tamu berpamitan untuk beranjak pergi , saling berjabat tangan,dan melebarkan senyuman tipis di bibir. Bersamaan dengan perginya tamu rombongan, dari kejauhan nampak lelaki tua , berambut pirang, berkulit putih datang menghampiri kediaman kyai. Dengan langkah yang agak tergopoh-gopoh bak lari dari kejaran pemburu.

‘’Pak kyai…’’ ucapnya sambil terdiam sejenak sambil mengatur pola napasnya.

‘’Kenapa ta? Mblayu-mblayu koyok nggudak maling wae.’’

‘’Ngene lho kyai, aku arep ngandani yen Koh Jin mati. ,Pak yai diaturi mimpin doa sak nyolatine, piye?’’

‘’Hemm, ngono ta, ya wis lah sediluk ngkas maneh aku mrono.’’

‘’Matur nuwun yai.’’

Mendengar kabar itu, secepat kilat kyai memanggil salah satu santri kepercayaannya.

‘’Kang Imam, ngene ya mengko bocah-bocah liyane dikandani yen jamaah asar diliburno, diganti takziah ning omahe Koh Jin. Ileng! Ojo ono sing ora melu.’’

‘’Nggeh, Bah. Sendiko dawuh.’’

Tepat pukul 4 sore, mereka berjalan beriringan menuju kediaman Koh Jin yang dipimpin langsung oleh kyai. Hiruk pikuk masyarakat pecinan terlihat berlalu-lalang di jalan. Saling menegur sapa saat bertatap muka. Keotentikannya masih sangat dijaga meski sudah diakulturasi oleh budaya baru.

Ternyata Koh Seok sudah berdiri di ambang pintu sebuah rumah China yang bertuliskan ukiran huruf China yang kami tak seorang pun dari  kami tau maknanya. Matanya yang terlihat sembab syarat akan penuh makna. Kucuran air mata yang tak hentinya mengalir . Hatinya bagai tersayat pisau tajam atau seperti kepingan kaca yang berserakan di ubin. Sulit nampaknya bagi Koh Seok atas kepergian adik kandungnya. Setiap hari menemani Koh Jin berjualan kue basah buatannya sendiri.

Dengan keyakinan tinggi, kyai berusaha menabahkan hati Koh Seok yang gundah gulana.

‘’Turut berduka cita atas meninggalnya Koh Jin, yang mungkin bayang-bayangnya terngiang di benak anda. Semuanya pasti akan mengalami kematian. Dan tak ada satu pun yang dapat lari darinya.’’

‘’Iya, pak yai. Berat memang namun apa boleh buat kehendak berkata lain. Saya tidak dapat melakukan apa-apa . Toh saya juga bukan Tuhan.’’

Pak yai dan santrinya mulai melaksanakan salat tepat di hadapan jenazah.Kejanggalan mulai terasa ketika sholat dilakukan sebanyak 4 rakaat disertai rukuk dan gerakan lainnya seperti sholat pada umumnya. Seusai salat dilanjutkan dengan secuil doa. Ketika hendak beranjak pergi Koh Seok menaruh sebuah pertanyaan kepada kyai. Ragu mulanya namun untuk menepis pertanyaan dalam benaknya Koh Soek memberanikan diri untuk bertanya.

‘’Maaf sebelumnya,setahu saya salat jenazah itu dilakukan hanya satu rakaat dan hanya ada gerakan berdiri saja. Tapi mengapa tadi berbalik dengan pendapat saya?’’

‘’Oalah, masalah itu. Memang benar apa yang dituturkan Koh Soek. Namun karena si mayat menanggung banyak dosa makanya ada gerakan yang lain.’’

’Hahaha… baru tau saya, Pak Yai.’’

‘’Maklum saja itu hal yang biasa.’’

Menguping pembicaraan keduanya , santri merasa agak heran. Namun, Waluyo bertekad untuk tetap menanyakan hal tersebut setibanya di asrama. Mereka harus kembali berjalan kaki menuju asrama kembali. Karena jaraknya terbilang dekat dengan rumah Koh Jin. Cukup melelahkan memang, namun hembusan angin di senja hari sedikit menghilangkan rasa lelah yang menjalar di sekujur tubuh.

Setibanya di asrama, mereka bergegas untuk mandi. Sepuluh menit setelah itu bunyi azan terdengar sebagai pertanda waktu salat magrib telah tiba. Berjalan dengan alas kaki seadanya menuju musala asrama. Di tengah salatnya Waluyo masih terngiang-ngiang akan kejadian sore tadi membuatnya tak sabar untuk mendapatkan penjelasan dari kyainya. Tekad dan keberaniaannya dikumpulkan . Berjalanlah ia menuju ndalem kyainya. Tersontak pak yai kebingungan. Mengapa Waluyo berada di rumahnya padahal beliau tidak pernah memintanya untuk datang di hadapannya.

‘’Lho, Waluyo kok ning kene? Aku ora rumangsa nyeluk awakmu.’’

‘’Ngeten pak yai, kulo badhe tangklet masalah wau sonten wonten dalem ipun Koh Jin.’’

‘’Oalah..kui ta. Aku wis mbedek bakale podo bingung masalah kui. Ngene lho, yo, mau kuwi dudu salat jenazah tapi salat asar. Kan sakdurunge aku wis ngandani yen sholat asar e ning omahe Koh Jin. Lali opo nglali?’’

‘’Hahaha. Mboten supe pak yai namung pengen ngertos mawon. Ngoten iku pripun hukume yai? Punapa diangsali kaliyan syariat?’’

‘’Ealah, Waluyo yo rakpopo ta kan awak dewe ora ndue maksud nyolati mayit e tapi niate kan salat asar. Toleran kuwi ora masalah ning nggone sekabihane bidang . Penting ing dalem masalah aqidah ora ono jenenge toleran. Cekeli sing kenceng kui yo!’’

‘’Matur nuwun sanget pak yai, kula dados tambah ngelmunipun.’’

Waluyo merasa lega atas jawaban dari pertanyaan yang selama ini menggannggu di benaknya. Dia kembali ke musala asrama dan mengaji bersama teman-temannya.Kini ia belajar banyak hal, menjadikannya pribadi yang tumbuh dewasa  dengan mengingat petuah dari kyainya.

Hari ini cuaca tak seperti biasanya. Matahari tak mau menampakkan wajahnya. Hanya ada gugusan mendung di langit. Waluyo kini menetap di gubuk kecil atas perintah kyai nya untuk menyiarkan dakwah di perkampungan. Dia sudah masyhur di kalangan masyarakatnya. Ajaranya masih sangat berpegang teguh dengan ajaran kyainya.Sewaktu mengajar anak kecil, ada seorang wanita muda datang menghampirinya.

‘’Permisi, boleh saya duduk?’’

‘’Maaf, anda siapa? Saya belum pernah bertemu dengan anda sama sekali.’’

‘’Saya disini sedang ingin mencari informasi dari perkampungan ini saja.’’

‘’Informasi apa?’’

‘’Apakah benar anda adalah seorang santri yang diutus oleh Kyai Mahmud untuk menyiarkan agama islam?’’

‘’Memang. Dari mana anda tau?’’

‘’Sudah menjadi pembicaraan di kalangan banyak orang.’’

Emmm, hanya itu saja?’’

‘’Tidak. Sekaligus ingin memberi tahu bahwasanya Kyai Mahmud telah meninggal seminggu yang lalu.’’

Seperti ada sambaran petir dari langit yang menyayat hatinya. Terpukul mengetahui orang yang terpaku di hatinya kini telah hilang dari bumi ini. Rasa tidak percaya menghantuinya. Tanpa berpikir panjang, Waluyo segera mempercepat langkahnya menuju pemakaman kyainya. Mungkin tidak jauh dari kediamaannya atau dikumpulkan bersama sanak saudaranya yang telah meninggal. Tanah pemakaman yang masih segar, pohon kamboja yang menaunginya dari sengatan sang surya. Tetes air mata mulai membasahi pipinya. Raut penyesalan muncul di wajahnya. Padahal Waluyo telah menyusun rencana bahwa saat idulfitri tiba ia ingin berkunjung dan membawakan makanan kegemaran kyainya. Pupuslah sudah harapannnya kini. Seperti daun jati yang meranggas di musim kemarau.

‘’Kyai, maafkan anaknmu ini yang tak sempat bertegur sapa kepadamu. Tak sedikitpun tau akan berita kematianmu. Semoga Tuhan menempatkan kau di surganya.’’

Berjalan kembali ke perkampungannya dengan sempoyongan. Waluyo merasa kehilangan semangat dalam hidupnya. Hampir saja dia ambruk , namun ingatannya terpana pada petuah kyainya dahulu.

“Opo wae dilakoni kanti ikhlas. Ojo mergo kelangan bojo, mboh guru, anak, ndadekke awak dewe mendeki syiar e agama Islam. Kabeh kui mesti wis ana peritungane saka Sing Nggawe Urip.’’

Semangat mulai tumbuh dalam benaknya kembali untuk meluaskan ajaran kyainya. Tanpa harus berlarut dalam kesedihan yang tiada hentinya. Akhirnya Waluyo menjadi orang yang sukses dan memiliki pesantren sendiri di bawah naungannya. Yang diberi nama Pomdok Pesantren Mahmud. Sebuah nama yang senantiasa terukir di kalbunya sepanjang masa.

TAMAT.

Cerita pendek oleh Diar Ayu Cahyarini

MA AL HIDAYAT LASEM

Pondok Pesantren Kauman Lasem

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑