Bukan Jalan Tikus

Angin malam mengelus kaki yang telanjang tanpa alas kaki. Pohon-pohon berayun mengikuti arah angin. Beberapa daun terjatuh dari pohonnya. Pada saat itu juga, perempuan cantik sedang meratapi nasib sebagai manusia yang ditakdirkan sang Pencipta mengidap penyakit Agoraphobia. Dunia medis menyebutnya dengan kata tersebut.

Perkenalkan, namaku Eliana Putri. Biasa dipanggil dengan sebutan Ana. Aku tinggal bersama bunda dan kakak perempuanku yang bernama Sena Anantasya. Sejak ayah menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Meninggalkan keluargaku tanpa pemimpin. Karena kejadian 6 tahun silam. Pengeroyokan tanpa sebab, dan ayahku korbannya. Aku terlalu takut. Takut untuk berhadapan dengan dunia luar. Dokter mengatakan, bahwa Aku menderita gangguan cemas yang menyebabkanku merasa panik jika berada dalam keramaian.

“Ana.” Suara lembut terdengar ditelinga membuatku menoleh. Ternyata itu Bunda. Bunda tersenyum sendu menatapku. Kemudian, berjalan mendekat. “Ana…Ana kenapa di sini? Ayo tidur! Sudah malam nak,”

Bukannya menjawab, Aku malah meneteskan air mata. Bunda langsung memelukku. “Bun… maafkan Ana. Ana tidak….”

Bunda memotong perkataanku di saat satu kaliamat belum selesai terucap.

“Tidak apa-apa, Sayang. Bunda mengerti, kamu jangan menyerah! Tetap semangat!” Aku hanya menjawab dengan sebuah anggukan. Bundaku memang begitu. Selalu saja memberikan pengertian dan semangat. Sebesar atau sekecil apa pun kesalahan yang kubuat, Bunda pasti mengerti. Bunda mengalihkan pandangan. Nafasnya diembuskan secara perlahan. Aku tahu Bunda kecewa denganku, namun dia berusaha untuk  menyembunyikannya.

 Aku dan Bunda masuk ke kamar karena sudah larut malam.

 “Selamat tidur, Sayang!” ucap Bunda.

“Selamat tidur, Bunda! Maafkan Aku,” ucapku lirih.

Setelah Bunda keluar dari kamarku, kepalaku tertunduk. Aku merasa sangat bersalah karena membuat Bunda keceawa untuk yang kesekian kalinya. Namun aku juga terlalu takut, jika harus keluar ke dunia yang menurutku tidak aman. Aku takut terhadap semua kemungkinan buruk yang bisa saja menimpaku. Ya, peristiwa tadi pagi telah membuatku hati pontang-panting tidak nyaman. Aku telah melakukan terapi untuk kesehatanku. Namun gagal, aku masih belum bisa melawan ketakutanku.

                                                            ***

Fajar telah menghilang, tetapi matahari belum juga menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Aku bingung harus berbuat apa. Tidak ada pekerjaan yang kulakukan.

Ctaaar.

Terdengar suara gelas terpelanting di lantai tanpa dosa. Menjadi korban pertengkaran antara Bunda dan Kakakku yang hampir sering aku dengar.

“Bunda mau Ana seperti ini terus? Apakah Bunda tidak mau melihat Ana seperti anak-anak yang bisa meraih mimipinya tanpa takut?” cerca Kak Sena. Bunda hanya diam seribu bahasa. Di dalam hati. Aku tahu bahwa Bunda ingin sekali aku sembuh. Tapi Bunda tidak pernah menggunakan cara kasar atau memaksaku untuk sembuh.

“Sekolahkan Ana, Bun! Sampai kapan dia seperti ini terus? Tidak pernah melakukan aktivitas apapun. Bagaimana masa depannya?” Setelah mendengar semua apa yang diucapkan Kak Sena. Bunda meninggalkan Kak Sena seorang diri, menuju dapur untuk melanjutkan kegiatannya.

Tanpa aku sadari, air mata menetes di pipiku deras bak hujan lebat di Jakarta yang membuat banjir di sekitarnya. Aku tidak bisa membendung air mataku lagi. Mendengar pertengkaran Bunda dan Kakak hanya karena aku. Aku tidak bisa menahan semua beban dan penyakit ini. Aku ingin sembuh! Aku ingin sehat seperti anak-anak di luar sana! “Ya Tuhan, tolong angkat penyakit ini dari dalam diri hamba.”

Terdengar azan zuhur di Masjid yang sangat indah. Melantunkan lafad-lafad Allah. Kuambil air wudhu, dan kuhadapkan wajahku kepada-Nya. Tak lama kemudian jam makan siang tiba. Aku dan keluargaku berkumpul tanpa harus dipanggil. Kututupi wajah sedih ini dengan senyum agar Bunda dan Kakakku tidak mengetahui perasaanku yang kusimpan selama ini. Seusai acara makan siang. Aku menghelakan nafas lega dan langsung menuju kamar.

Suara Kak sena yang memanggil namaku yang membuat aku berhenti

“Ana.”

“Iya, Kak Sena?” jawabku dengan menoleh.

“Kakak bisa minta tolong sama kamu tidak?”

“Minta tolong apa, Kak?”

“Tolong Kakak belikan pulsa di warung Mbok Sinah di dekat Gang Mawar!”

“Eng..gimana ya, Kak. Ana takut,” jawabku dengan nada memelas. Tanpa menunggu jawaban Kak Sena, aku segera melangkah pergi.

“ANA. Mau kamu apa sih? Mengapa kamu tidak pernah mau melawan rasa takut kamu sama dunia luar? Mengapa???”

Emosinya tampak meluap seperti air mendidih di atas api yang panas. Spontan, aku menunduk. Dia memberi tatapan tajam padaku. Bunda hanya terdiam. Aku mengerti tidak ada yang bisa meredamkan emosi Kak Sena kecuali Ayah.

“A…aku juga tidak mau punya fobia ini, Kak,” jawabku terbata.

“Oh, jadi kamu tidak mau punya fobia itu? Namun yang Kakak lihat, kamu nyaman-nyaman saja tuh sama fobiamu. Tidak ada rasa mau menaklukan sama sekali. “

Aku terdiam, enggan menjawab perkataan Kak Sena yang kuakui benar adanya. Raut wajahnya tetap memancaarkan sebuah kemarahan. Tanganmya bersedekap dan mata itu tetap fokus menatapku. “Penuhi permintaan Kakak kalau kamu memang punya niat buat menaklukan rasa takutmu!”

Mendengar permintaan Kak Sena, pikiranku langsung tertuju dunia luar. Aku sangat takut. Aku merasa sangat tidak percaya diri. “Bagaimana jika orang-orang mengeroyokku tanpa sebab?” pikirku dalam diam.

“Mengapa? Tidak berani, ya?” Tanya Kak Sena dengan intonasi yang sedikit naik. Aku tidak ingin menanggapinya. Apakah dia tidak memikirkan, bagaimana perasaanku saat mendengarnya? Sakit, hancur. Dadaku menjadi sedikit sesak.

“Sudah kuduga, kamu pasti tidak akan sanggup.”

Kak Sena mulai meninggalkan aku disertai cibirannya yang semakin membuat telinga ini menjadi perih. Bunda menghampiriku dan memelukku erat. Seperti memberi semangat dari dalam. Namun aku tidak bisa berkata-kata. Kecuali air mata yang bisa mewakilkan perasaanku.

                                                            ***

Hari-hari pun berlalu, tapi bagiku tak ada bedanya. Aku masih memikirkan bagaimana cara untuk sembuh. Dan perkataan-perkataan Kak Sena yang membekas dihati. Aku merasa lemah. Pandanganku kosong seperti orang yang sudah tidak punya harapan hidup.

“Ana sayang…” suara Bunda yang ceria membubarkan lamunanku.

“Ada apa, Bun? Kelihatannya bahagia sekali,” jawabku dengan melas.

“Bunda punya kabar baik buat Ana,”

“Apa Bun?” tanyaku penasaran.

“Kamu mau tidak Bunda pondokkan?”

“Ha…Pondok?”

‘Iya, Pondok adalah tempat yang pas buat Ana melatih keberanian menghadapi dunia luar. Kamu jangan takut. Di sana nanti banyak orang yang baik sama Ana.”

“Bunda bercanda?”

“Tidak, Sayang. Bunda yakin, kalau Ana mondok bisa melawan rasa takut itu. Dan bisa meraih mimpi untuk masa depan Ana.”

“Mmm…gimana ya, Bun, Ana pikir-pikir dulu, ya?”

“Oke Sayang. Semoga kamu mau, biar kakakmu tidak marah-marah terus.” Bunda mengatakan dengan wajah sumringah. Dan meninggalkan aku sendiri untuk memikirkan tawaran Bunda tadi.

                                                            ***

Malam yang indah. Banyak bintang bertaburan bebas di langit. Udara yang biasanya menusuk relung hatiku kini berubah menjadi hangat. Melihat senyum Bunda dan Kak Sena yang seindah bintang. Ya, Aku memberi kabar bahwa aku mau untuk dipondokkan. Dan itu kabar baik buat Bunda dan Kakakku. Meski hati ini takut, namun akau akan melawan dan segera menepisnya. Aku ingat sekali setelah aku mencari info tentang penyakitku disebuah laman. Seperti melihat cahaya di sana. Aku semangat untuk melawan penyakitku. Dan kutemukan sebuah kata yang memotivasiku. Kekurangan adalah anugerah. Hanya tekad yang kuatlah yang bisa membuat seseorang sembuh, dan dengan atas izin Allah.

Pagi yang cerah. Matahari memancarkan sinarnya. Dengan semangat aku menunggu Bunda di teras untuk menanyakan tentang aku mau dipondokkan di mana.

“Bunda…”  panggil aku dengan semangat.

“Iya sayang, ada apa?” tanya bunda antusias.

“Bunda mau memondokkan aku di mana?”

“Oh…Bunda akan memondokkan kamu di sebuah pondok pesantren yang sangat nyaman dan indah,”  jelas bunda dengan semangat.

“Di mana, Bun, tempatnya?” tanyaku tak kalah semangat dari Bunda.

“Tempatnya ada di jantung kota Lasem, persisnya di Kauman, Desa Karangturi Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. Jawa Tengah. Banyak orang menyebutnya dengan kota toleransi. Bunda membayangkan betapa nyamannya dan tentramnya hidup di sana. Pondoknya unik, Ana,” jelas Bunda.

Masih mendengarkan dengan saksama, dan kubertanya. “Unik bagaimana, Bun?”

“Iya unik, pondok tersebut dibangun di tengah-tengah komunitas non-muslim. Banyak orang bermata sipit di sana. Masyarakat lasem menyebutnya kawasan tersebut dengan pecinan. Mereka hidup di sana berdampingan nyaman dan tentram. Berbeda dengan di sini nak. Toleransi sosial agama di sana dijunjung tinggi oleh warga pesantren maupun penduduk sekitarnya. Sifat saling menghargai kebebasan beragama, kemajemukan dan hak asasi, menjadi terciptanya lingkungan yang kondusif,” jelas Bunda dengan detail.

“Waw… sepertinya seru ya Bun?” terpukaulah aku dengan cerita Bunda. “Dari mana Bunda tahu tentang pondok pesantren tersebut dan apa namanya Bun?” tanyaku penasaran.

“Nama pondok tersebut adalah Pondok Pesantren Kauman Lasem. Bunda dikasih tahu oleh teman bunda SMP, dan kebetulan alumni sana, Nak.”

Tanpa kusadari, Kak Sena ikut menyimak Bunda dan bertanya.

“Kapan Ana berangkat Bun?”

Aku dan Bunda menoleh. Dan dijawab Bunda.

“Ana berangkat 3 hari lagi Sen. Jadi kamu bantuin Ana untuk bersiap-siap, apa saja yang diperlukan  untuk dibawa ke pondok”

“Siap, Bunda.” jawab Kak Sena semangat.

Kita bertiga tertawa melihat tingkah kakakku yang berubah menjadi baik dan konyol.

                                                            ***

Tiga hari berlalu cepat. Hari di mana aku akan melawan penyakitku, melawan rasa takut pada dunia luar.

“Ana … Kakak punya sesuatu buat kamu.” ucap Kak Sena memecah keheningan di dalam mobil.

“Apa Kak?” kubertanya dengan lembut.

“Ini adalah buku warna, dengan bantuan buku ini kamu bisa mengelola stres atau ketakutanmu lewat sini. Ekspresikan amarahmu di sini Na. Ini adalah salah satu terapi untuk menyembuhkan penyakitmu. Dan serta berhenti memikirkan masalahmu.”

Tersenyumlah aku. Aku tahu bahwa kakakku adalah kakak yang baik. Bukan yang selalu membanting gelas dan marah-marah.

“Terima kasih, Kak.” jawabku senang.

Pada saat itu juga, mobil yang dikendarai oleh sopir taksi berhenti di depan pondok pesantren. Aku menguatkan tekad dengan sepenuh hati, untuk membuka pintu mobil.

“Demi kesembuhanku aku harus melawannya,” batinku.

Akhirnya, aku telah berhasil membuka pintu mobil. Diam. Aku melihat sekitar lingkungan pondok yang terlihat asri dan indah. Banyak bangunan Cina yang membuat keunikan di sini.

“Ana, ayo turun! Bunda yakin kamu bisa!” Bunda meyakinkanku. Bunda tahu bahwa apa yang aku pikirkan dan rasakan.

“Eh…iya Bun, Ana akan melawannya,” jawabku dengan ragu.

Dan digandengnya aku sama bunda dan kakak. Tiba-tiba bayangan masa lalu datang. Ayah dikeroyok. Namun, aku segera menepisnya. Akhirnya aku bisa sampai depan pondok dan menuju ndalem. Aku, Bunda, dan Kak Sena bertamu di sana.

Dengan ramah Bu Nyai menyambut kita dan menjamu dengan baik. Tiba-tiba aku merasakan kenyamanan di sini. Tidak ada rasa takut itu lagi. Bunda menjelaskan  tentang penyakitku kepada Bu Nyai, agar tidak kaget ketika penyakitku kambuh. Dan Bu Nyai menerima kekuranganku.

Hari mulai sore. Matahari mulai menenggelamkan diri. Setelah berbincang-bincang dengan Bu Nyai selesai. Dan urusan daftar pondok dan sekolah beres. Bunda dan Kak Sena berpamitan kepadaku untuk meninggalkan aku di pondok.

“Anakku Sayang, yang pinter, ya, mondoknya! Semoga dengan kamu di sini kamu bisa sembuh dan meraih mimpi-mimpimu. Bunda yakin kamu punya mimpi yang besar,” ucap Bunda kepadaku dengan menahan tangis di pelupuk matanya, begitupun Kak Sena. Aku bisa melihatnya.

“Iya, Bun. Ana pasti bisa. Ana ingin membahagiakan Bunda, Kak Sena, dan juga Ayah. Ana capek mengecewakan kalian terus.” Itu yang kukatakan pada Bunda dan Kak Sena. Aku tidak boleh lemah. Apalagi di depan mereka. Meski di lubuk hati, aku ingin menjerit.

Bunda dan Kak Sena mulai masuk ke dalam mobil. Aku berada di seberangnya menunggu mobil tersebut hilang tanpa menyisakan bayangan. Mobil belum berjalan. Tiba-tiba ada motor yang dikendarai anak muda, melaju dengan cepat dan menyerempetku.

Braaakkk…

Aku berguling di jalanan. Aku melihat Bunda dan Kak Sena berteriak histeris. Tapi tangan dan kakiku terasa bergetar hebat. Penglihatanku mulai tergangu karena air mata ketakutan. Ya, penyakit itu lagi-lagi kambuh. Seketika itu para santri berkumpul mengelilingiku. Aku hanya bisa menunduk. Mulutku mulai meracau di dalam pikiranku.

“Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka akan menyakitiku? Apakah mereka akan mengeroyokku, seperti ayah?”

Ketika ada santri yang mulai mendekat untuk menolongku. Aku berteriak histeris. “Jangan sakiti aku! Aku mohon… jangan bunuh aku! Jangan membuatku malu! Aku mohon jangan….”

Para santri terheran melihat tingkah dan sikapku seperti itu. Bunda dan Kak Sena berlari membubarkan segerombolan santri yang mau menolongku. Dan memelukku erat. Dan pada saat itu, aku merasakan kenyamanan itu kembali. Tak ada rasa takut. Tepat di situ Tuhan telah manarik jiwaku menuju batas langit tertinggi. Menuju kehidupan yang abadi dan berpisah dengan keluarga yang aku sayangi. Aku menjemputmu Ayah.

Bukan lantas diam. Kau harus tetap berjalan. Kuasa Tuhan bekerja dengan cara yang tak pernah terduga. Kau hanya perlu percaya dan tawakal.

                                                -SELESAI-

Cerita Pendek oleh Hidayatus Sholikhah

MA AL HIDAYAT LASEM

Pondok Pesantren Kauman Lasem

Pupus Puspa

Prok prok prok. Jejak langkah kaki  membekas di jalanan. Pekatnya langit belum memberikan isyarat datangnya surya pemberi penghidupan dan ketentraman. Jam dinding tepat menunjukkan pukul 3 pagi. Dengan cengkeraman tongkat di tangannnya, lelaki paruh baya menapak menyusuri jalanan berlubang. Jejak langkahnya yang terdengar di setiap sudut asrama. Brukk. Bunyi nyaring hempasan tongkatnya jatuh ke tanah.

‘’Tangi o le… wayahe solat dudu ngiler wae, kapan ora tangi? Titenono!’’

Tarji, Waluyo, dan Santoso membuka mata dengan kaget. Napasnya terengah-engah.  Meskipun cuaca pagi ini cukup dingin karena hujan semalam, bajunya basah oleh keringat.Pikirnya hanyalah bunga tidur belaka. Nyatanya, kyai sungguh membangunkannnya dari alam bawah sadar.

Berlari terbirit-birit mengingat ucapannya akan sanksi yang akan diterimannya. Diputarlah keran wudhu. Perlahan tetesnya membasahi tubuh, menusuk sendi-sendi tulang . Celetukan gigi mulai terdengar. Huft, apalah daya. Perlahan melayangkan pandangannya, menepis kantuk yang mulai datang. Bangkit berjalan menuju musala. Menikmati setiap gerakannya,melantunkan doa di setiap sembah sujudnya.

Segalanya berlalu dengan cepat. Diam, membisu, bergeming ketika sebuah kendaraan berhenti di sudut parkiran. Turunlah serombongan orang dengan menggendong tas di sisi kanan dan kirinya dengan maksud berkunjung. Nampak guratan tipis di wajah pemilik rumah pertanda akan bentuk penerimaannya. Senang hati tak terkira. Seorang santri berjalan menuju dapur asrama untuk menyuguhkan hidangan perjamuan. Tercium aroma kopi di setiap sudut ruangan.Tiba saatnya kopi disuguhkan .Tak dapat dipungkiri lagi, diraihnya secangkir kopi hangat, bercakap-cakap ria,sampai terdengar ucapan penuh tanya  dari salah satu tamu.

‘’Apakah betul kopi Lasem ini dijadikan sebagai kekhasan dari kota ini?’’

Sembari meneguk kopi hangat ‘’ memang inilah yang menjadi daya tarik kami karena proses pengolahannya berbeda dengan minuman kopi di tempat lain.’’

Matahari mulai condong ke barat, tanpa kesadaran dari setiap insan kini sudah berada di penghujung waktu. Para tamu berpamitan untuk beranjak pergi , saling berjabat tangan,dan melebarkan senyuman tipis di bibir. Bersamaan dengan perginya tamu rombongan, dari kejauhan nampak lelaki tua , berambut pirang, berkulit putih datang menghampiri kediaman kyai. Dengan langkah yang agak tergopoh-gopoh bak lari dari kejaran pemburu.

‘’Pak kyai…’’ ucapnya sambil terdiam sejenak sambil mengatur pola napasnya.

‘’Kenapa ta? Mblayu-mblayu koyok nggudak maling wae.’’

‘’Ngene lho kyai, aku arep ngandani yen Koh Jin mati. ,Pak yai diaturi mimpin doa sak nyolatine, piye?’’

‘’Hemm, ngono ta, ya wis lah sediluk ngkas maneh aku mrono.’’

‘’Matur nuwun yai.’’

Mendengar kabar itu, secepat kilat kyai memanggil salah satu santri kepercayaannya.

‘’Kang Imam, ngene ya mengko bocah-bocah liyane dikandani yen jamaah asar diliburno, diganti takziah ning omahe Koh Jin. Ileng! Ojo ono sing ora melu.’’

‘’Nggeh, Bah. Sendiko dawuh.’’

Tepat pukul 4 sore, mereka berjalan beriringan menuju kediaman Koh Jin yang dipimpin langsung oleh kyai. Hiruk pikuk masyarakat pecinan terlihat berlalu-lalang di jalan. Saling menegur sapa saat bertatap muka. Keotentikannya masih sangat dijaga meski sudah diakulturasi oleh budaya baru.

Ternyata Koh Seok sudah berdiri di ambang pintu sebuah rumah China yang bertuliskan ukiran huruf China yang kami tak seorang pun dari  kami tau maknanya. Matanya yang terlihat sembab syarat akan penuh makna. Kucuran air mata yang tak hentinya mengalir . Hatinya bagai tersayat pisau tajam atau seperti kepingan kaca yang berserakan di ubin. Sulit nampaknya bagi Koh Seok atas kepergian adik kandungnya. Setiap hari menemani Koh Jin berjualan kue basah buatannya sendiri.

Dengan keyakinan tinggi, kyai berusaha menabahkan hati Koh Seok yang gundah gulana.

‘’Turut berduka cita atas meninggalnya Koh Jin, yang mungkin bayang-bayangnya terngiang di benak anda. Semuanya pasti akan mengalami kematian. Dan tak ada satu pun yang dapat lari darinya.’’

‘’Iya, pak yai. Berat memang namun apa boleh buat kehendak berkata lain. Saya tidak dapat melakukan apa-apa . Toh saya juga bukan Tuhan.’’

Pak yai dan santrinya mulai melaksanakan salat tepat di hadapan jenazah.Kejanggalan mulai terasa ketika sholat dilakukan sebanyak 4 rakaat disertai rukuk dan gerakan lainnya seperti sholat pada umumnya. Seusai salat dilanjutkan dengan secuil doa. Ketika hendak beranjak pergi Koh Seok menaruh sebuah pertanyaan kepada kyai. Ragu mulanya namun untuk menepis pertanyaan dalam benaknya Koh Soek memberanikan diri untuk bertanya.

‘’Maaf sebelumnya,setahu saya salat jenazah itu dilakukan hanya satu rakaat dan hanya ada gerakan berdiri saja. Tapi mengapa tadi berbalik dengan pendapat saya?’’

‘’Oalah, masalah itu. Memang benar apa yang dituturkan Koh Soek. Namun karena si mayat menanggung banyak dosa makanya ada gerakan yang lain.’’

’Hahaha… baru tau saya, Pak Yai.’’

‘’Maklum saja itu hal yang biasa.’’

Menguping pembicaraan keduanya , santri merasa agak heran. Namun, Waluyo bertekad untuk tetap menanyakan hal tersebut setibanya di asrama. Mereka harus kembali berjalan kaki menuju asrama kembali. Karena jaraknya terbilang dekat dengan rumah Koh Jin. Cukup melelahkan memang, namun hembusan angin di senja hari sedikit menghilangkan rasa lelah yang menjalar di sekujur tubuh.

Setibanya di asrama, mereka bergegas untuk mandi. Sepuluh menit setelah itu bunyi azan terdengar sebagai pertanda waktu salat magrib telah tiba. Berjalan dengan alas kaki seadanya menuju musala asrama. Di tengah salatnya Waluyo masih terngiang-ngiang akan kejadian sore tadi membuatnya tak sabar untuk mendapatkan penjelasan dari kyainya. Tekad dan keberaniaannya dikumpulkan . Berjalanlah ia menuju ndalem kyainya. Tersontak pak yai kebingungan. Mengapa Waluyo berada di rumahnya padahal beliau tidak pernah memintanya untuk datang di hadapannya.

‘’Lho, Waluyo kok ning kene? Aku ora rumangsa nyeluk awakmu.’’

‘’Ngeten pak yai, kulo badhe tangklet masalah wau sonten wonten dalem ipun Koh Jin.’’

‘’Oalah..kui ta. Aku wis mbedek bakale podo bingung masalah kui. Ngene lho, yo, mau kuwi dudu salat jenazah tapi salat asar. Kan sakdurunge aku wis ngandani yen sholat asar e ning omahe Koh Jin. Lali opo nglali?’’

‘’Hahaha. Mboten supe pak yai namung pengen ngertos mawon. Ngoten iku pripun hukume yai? Punapa diangsali kaliyan syariat?’’

‘’Ealah, Waluyo yo rakpopo ta kan awak dewe ora ndue maksud nyolati mayit e tapi niate kan salat asar. Toleran kuwi ora masalah ning nggone sekabihane bidang . Penting ing dalem masalah aqidah ora ono jenenge toleran. Cekeli sing kenceng kui yo!’’

‘’Matur nuwun sanget pak yai, kula dados tambah ngelmunipun.’’

Waluyo merasa lega atas jawaban dari pertanyaan yang selama ini menggannggu di benaknya. Dia kembali ke musala asrama dan mengaji bersama teman-temannya.Kini ia belajar banyak hal, menjadikannya pribadi yang tumbuh dewasa  dengan mengingat petuah dari kyainya.

Hari ini cuaca tak seperti biasanya. Matahari tak mau menampakkan wajahnya. Hanya ada gugusan mendung di langit. Waluyo kini menetap di gubuk kecil atas perintah kyai nya untuk menyiarkan dakwah di perkampungan. Dia sudah masyhur di kalangan masyarakatnya. Ajaranya masih sangat berpegang teguh dengan ajaran kyainya.Sewaktu mengajar anak kecil, ada seorang wanita muda datang menghampirinya.

‘’Permisi, boleh saya duduk?’’

‘’Maaf, anda siapa? Saya belum pernah bertemu dengan anda sama sekali.’’

‘’Saya disini sedang ingin mencari informasi dari perkampungan ini saja.’’

‘’Informasi apa?’’

‘’Apakah benar anda adalah seorang santri yang diutus oleh Kyai Mahmud untuk menyiarkan agama islam?’’

‘’Memang. Dari mana anda tau?’’

‘’Sudah menjadi pembicaraan di kalangan banyak orang.’’

Emmm, hanya itu saja?’’

‘’Tidak. Sekaligus ingin memberi tahu bahwasanya Kyai Mahmud telah meninggal seminggu yang lalu.’’

Seperti ada sambaran petir dari langit yang menyayat hatinya. Terpukul mengetahui orang yang terpaku di hatinya kini telah hilang dari bumi ini. Rasa tidak percaya menghantuinya. Tanpa berpikir panjang, Waluyo segera mempercepat langkahnya menuju pemakaman kyainya. Mungkin tidak jauh dari kediamaannya atau dikumpulkan bersama sanak saudaranya yang telah meninggal. Tanah pemakaman yang masih segar, pohon kamboja yang menaunginya dari sengatan sang surya. Tetes air mata mulai membasahi pipinya. Raut penyesalan muncul di wajahnya. Padahal Waluyo telah menyusun rencana bahwa saat idulfitri tiba ia ingin berkunjung dan membawakan makanan kegemaran kyainya. Pupuslah sudah harapannnya kini. Seperti daun jati yang meranggas di musim kemarau.

‘’Kyai, maafkan anaknmu ini yang tak sempat bertegur sapa kepadamu. Tak sedikitpun tau akan berita kematianmu. Semoga Tuhan menempatkan kau di surganya.’’

Berjalan kembali ke perkampungannya dengan sempoyongan. Waluyo merasa kehilangan semangat dalam hidupnya. Hampir saja dia ambruk , namun ingatannya terpana pada petuah kyainya dahulu.

“Opo wae dilakoni kanti ikhlas. Ojo mergo kelangan bojo, mboh guru, anak, ndadekke awak dewe mendeki syiar e agama Islam. Kabeh kui mesti wis ana peritungane saka Sing Nggawe Urip.’’

Semangat mulai tumbuh dalam benaknya kembali untuk meluaskan ajaran kyainya. Tanpa harus berlarut dalam kesedihan yang tiada hentinya. Akhirnya Waluyo menjadi orang yang sukses dan memiliki pesantren sendiri di bawah naungannya. Yang diberi nama Pomdok Pesantren Mahmud. Sebuah nama yang senantiasa terukir di kalbunya sepanjang masa.

TAMAT.

Cerita pendek oleh Diar Ayu Cahyarini

MA AL HIDAYAT LASEM

Pondok Pesantren Kauman Lasem

Toleransi, Klik!

Kricik Kricik kricik

Bunyi gemericik air terdengar dari arah kamar mandi. Aku yang tidur di kamar paling ujung, berdampingan dengan kamar mandi, terbangun. Dan menuju ke tempat wudhu. Kutengok ke semua sudut ruangan, telah kosong. Hanya terdapat beberapa santri putri yang sedang berhalangan. Mereka masih tertidur.

Musala yang tadi sangat sepi, tiba-tiba ramai dengan para santri yang sedang melakukan kegiatan apa pun. Ada yang membaca Al-Qur’an, mengulangi pelajaran, dan masih juga ada yang tertidur. Azan subuh pun berkumandang dari musala santri putra.

 “Allahuakbar!  Allahuakbar!”

Dinda menghampiriku yang sedang membaca Al-Qur’an dan mengajakku untuk persiapan salat, serta menempati shaf paling awal.

“Fani! Ayo, sini, shaf paling depan aja,” panggilnya, dari barisan yang paling depan.

“Iya, sebentar,”  jawabku sambil berjalan menghampirinya.

Mimi pun memasuki musala putri, dan mengimami jamaah salat subuh. Mimi, panggilan akrab kami kepada beliau. Yang merupakan pengasuh kami, di Pesantren Kauman ini. Setelah selesai salat, Dinda kembali menghampiriku.

“Fani, nanti setelah mengaji Abah, kita jalan-jalan yuk!” Ajaknya.

“Okelah, sesekali saja,” jawabku.

Selang beberapa menit, suara kentongan terdengar sangat nyaring di telingaku.

Tong! tong! tong!

Suara kentongan tersebut menunjukkan, bahwa kegiatan mengaji akan segera dimulai. Memang telah menjadi ciri khas bagi Pesantren Kauman ini, setiap kegiatan yang penting, selalu menggunakan kentongan. Aku, yang kebetulan pada saat itu sedang merapaikan rak buku, merasa terburu-buru. Dan dari kejauhan, terdengar suara senior, sedang menyuruh santri yang lain untuk segera menuju ruang pengajian. Tepat saat itu, salah satu dari mereka memasuki kamarku, dan melihatku yang sedang merapikan rak buku.

“Fani! Ayo, cepat pergi ke tempat ngaji!” Perintah seniorku yang bernama mbak Annisa.

“Iya, mbak, sebentar, ini lagi kerudungan,” balasku sambil merapikan kerudung yang sedikit berantakan.

***

Menit berujung menit. Satu jam pun berlalu. Akhirnya kegiatan mengaji pun telah selesai. Akan tetapi, sebelum Abah Ahmad membubarkan pengajian, beliau sempat berbicara pada kami.

“Anak-anakku sekalian, kita hidup di pesantren ini yang mayoritas penduduknya adalah orang Cina, hendaknya kita selalu mendahulukan, menerapkan keharmonisan pada mereka, dan menjunjung tinggi rasa toleransi pada mereka. Kalian harus bisa bermasyarakat. Meskipun, hanya saling tegur sapa dengan mereka, di saat kalian sedang keluar, dan melewati perkampungan mereka. Paham, kalian?” tanya Abah.

“Insyaallah, Abah,” jawab kami serempak.

Ngaji pun telah usai, Dinda menghampiriku.

“Fani, ayo, berangkat!” ajaknya.

“Iya, sebentar,  aku ambil sandal dulu!” balasku berusaha menggunakan sandal.

Aku dan Dinda berjalan menyusuri dari gang satu ke gang lainnya, dan melihat pemandangan yang terjadi pada pagi hari ini, di kota Lasem.

 Lasem adalah kota yang indah. Lasem juga merupakan, tempat awal pendaratan orang Cina di Pulau Jawa. Karena itu, kota ini memiliki banyak perkampungan Cina dengan deretan bangunan kuno yang unik.

 Bahkan dengan penduduknya yang mayoritas adalah orang Cina, masyarakat di kota ini, sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Karena adanya perbedaan agama, dan budaya dalam kehidupan mereka.

 Perkampungan Cina di kota ini, Memiliki struktur bangunan yang sangat indah. Baik dari dindingnya yang menjulang tinggi seperti benteng, pintunya yang khas akan tulisan Cina, ataupun atapnya yang bernuansa campuran antara Jawa dan Cina. Apalagi di saat matahari mulai tenggelam, suasana di kampung ini sangat indah untuk didokumentasikan.

Kami pun berjalan terus, sehingga sampailah kami pada gang yang terdapat sebuah klenteng kecil. Yaitu tempat peribadahan orang Cina.

“Fan! Mau masuk apa tidak?” tanyanya padaku.

“Tidak usah, mendingan kita jalan aja terus, lihat pemandangan yang lain,” balasku padanya.

Tak terasa aku dan Dinda berjalan, kami pun tiba di perkampungan penduduk muslim. Pesantren Kauman ini selain bertetangga dengan orang Cina, juga bertetangga dengan orang muslim. Yaitu, Desa Kauman.

Ketika aku dan Dinda sedang asyik berjalan, tiba-tiba seorang ibu menghampiri kami.

“Ini, Dik, ada sedikit nasi bungkus untuk dimakan rame-rame dengan temannya, sebagai rasa syukur kami,” kata ibu tersebut sembari memberikan bungkusan.

“Terima kasih, Bu, sudah repot-repot,” jawab kami.

“Iya, sama-sama, semoga menjadi berkah ya, Dik,” ucap ibu tersebut.

“Amiin,” kami pun mengamini.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan untuk pulang ke pesantren.

***

Pagi ini langit terlihat cerah, awan pun tak menunjukkan akan turun hujan. Saat ini aku sedang duduk didekat jendela kelas, menatap langit yang seolah-olah tersenyum padaku.

Teeet teeet teet.

Bunyi bel terdengar dari arah kantor, para santri pun bersegera untuk memasuki kelas mereka, dan memulai pelajaran. Inilah yang kutunggu dari tadi. Yaitu, pelajaran Al-Qur’an dan hadist yang gurunya adalah pengasuh kami sendiri. pelajaran pun dimulai. Ketika di pertengahan pelajaran, beliau bercerita tentang Abah Ahmad, yang dimintai oleh orang Cina untuk berdoa di rumahnya. karena ada keluarganya yang meninggal. Kebetulan juga, pelajaran Al-Qur’an dan hadist ini membahas tentang agama Islam yang mengajarkan sikap toleransi dan menghormati satu sama lain.

Saat itu Abah sedang berbincang-bincang dengan tamu, kemudian datanglah seorang warga Cina, dan meminta kepada Abah untuk mendoakan kakaknya yang telah meninggal. Abah tampak berpikir sejenak, kemudian beliau menyetujui permintaan orang Cina tersebut. Mimi yang saat itu ikut mendengar pecakapan Abah dengan orang Cina, sangat terkejut, akhirnya Abah bercerita pada Mimi dan juga para tamu.

“Mimi, saya teringat dengan kisahnya Mbah Bisri. Mbah Bisri adalah salah satu Kyai asal Rembang. Saat itu beliau dimintai oleh seorang Cina untuk mensalatkan jasad saudaranya. Padahal saat itu Mbah Bisri sangat kebingungan, sehingga munculah ide yang membuat Mbah Bisri menyetujui orang Cina tersebut,” cerita Abah.

“Selanjutnya, bagaimana, Abah?” tanya Mimi.

“Mbah Bisri pun berkeliling pondoknya, dan mencari santri yang tidak ikut salat berjamaah asar di musala. kemudian Mbah Bisri menemukan mereka, dan menyuruh mereka untuk salat asar di rumah orang Cina, dengan niat mereka salat asar, serta mayit tidak berada di depan, akan tetapi di samping mereka. Nah, dari situlah Abah termotivasi oleh Mbah Bisri,” lanjut Abah.

 Kemudian, Abah langsung memanggil santri putra, dan menyuruh mereka untuk berdoa di rumah warga Cina, dengan niat mendoakan keluarga mereka yang telah meninggal. Orang Cina tidak akan mengerti tentang hal itu, karena yang mereka pahami adalah telah didoakan oleh santri putra.

Kemudian pelajaran Al-Qur’an dan hadits pun selesai.

“Fani!” Panggil Dinda yang sedang berdiri di depan pintu.

“Iya,” balasku.

“ Apa kamu paham, yang dibahas Mimi tadi?” tanyanya padaku.

“Iya, paham,” ucapku.

“Tolong jelaskan lagi untukku, hehehe,” pintanya sambil nyengir.

“Okelah,” balasku.

Kemudian, Dinda menghampiriku.

“Jadi begini, Mimi tadi menjelaskan pada kita, yang salah satunya tentang manusia memiliki tiga tali persaudaraan. Yaitu, tali persaudaraaan antar umat islam, tali persaudaraan antar sesama manusia, dan tali persaudaraan antar Negara. Sedangkan, yang kita bahas di kelas adalah persaudaraan antar sesama manusia. kita sebagai manusia dan juga bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman budaya, suku, serta sumber daya yang melimpah. Apalagi dengan keragaman sukunya. salah satunya etnis Cina, yang sekarang tinggal di kota lasem. Kita diajarkan untuk saling menghormati, menghargai, dan saling tolong menolong. Seperti yang telah Mimi ajarkan tadi,” terangku padanya.

“Apa kamu masih ingat?” tanyaku.

“Sangat ingat,” jawabnya.

“Nah, itu pelajaran yang kita bahas tadi. Jadi, toleransi itu sangat penting. Namun, ada batasanya. Apa kamu tau batasan toleransi Dinda?” tanyaku lagi.

“Tidak,” jawab Dinda.

“Batasannya, yaitu akidah,” ucapku.

 Dinda pun mengangguk. Tanda mengerti.

“Oh, oke, terima kasih Fani,” katanya.

“Sama-sama,” balasku.

Selesai.

Oleh: Inayah Demuna

MA AL HIDAYAT LASEM

Pondok Pesantren Kauman Lasem

Santri Kucing

Malam semakin mencekam. Hujan deras, petir menggelegar. Tak seorang pun keluar rumah malam ini. Semua orang memilih berdiam diri di dalam rumah, menutup jendela dan pintu.

Di dapur ini gelap, sunyi, hanya ada aku di sini.Pyaarr. suara benda pecah membuatku kaget. Di belakangku, aku melihat sosok bayangan besar dan mengerikan. Seketika itu badanku gemetar ketakutan. Aku bingung harus melakukan apa, apakah aku harus lari? atau harus memastikan itu bayangan apa? Aku berpikir itu adalah monstermengerikan yang kelaparan dan akan memakanku. Dengan sisa-sisa keberanian, perlahan aku membalikkan badan.

“Meong…,” Aku terlonjak kaget, itu adalah Moza teman dekatku.

“Moza! ngagetin aja, aku kira kamu monster jelek yang mengerikan,” ucapku jengkel.

“Hehe… mana ada monster cakep kayak aku,” ucap Moza menyombongkan dirinya. Moza memang selalu manganggap dirinya paling keren.

“Kamu itu dari mana tho? Hujan-hujan jam segini baru pulang,” tanyaku.

“Haha… biasalah nom-noman, ngopi sambil ngobrol,” jawab Moza, aku hanya mengangguk dan ber-oh saja.

“Hmm… ngomong-ngomongkamu ngapain jam segini masih didapur, mau ngambil makanan kan?” Tebak Moza.

“Hehe… tahu aja kamu. Kayaknya kamu bawa makanan, bagi dong,” aku merebut plastik yang ada di tangan Moza dengan cepat dan membukanya.

“Apaan nih, gorengan sama kopi doang,” ucapku tidak puas dengan yang dibawa Moza.

“Dasar teman nggak tahu terima kasih. Udah ngambil makanan orang, masih saja maido,” kesal Moza.

“Hehe… iya maaf. Terimakasih ya Moza,” kataku cengengesan.

“Nah, gitu dong . Itu bukan sembarangan kopi,” ucap Moza.

“Apa bedanya, sama hitamnya kayak kopi-kopi lain. Mungkin rasanya juga sama umumnya kopi,” bantahku pada Moza.

“Kamu itu harus sering-sering belajar sejarah. Masa gini aja nggk tahu,” ledek Moza.

“Emang ini kopi opo tho?” Tanyaku.

“Ini kopi lelet, khas daerah sini. Kopi lelet udah terkenal lho. Orang yang dari luar kota ini aja tahu masa kamu yang tinggal di kota ini nggak tahu,” ujar Moza.

“Ooh… kopi lelet ini yang sering dicari orang-orang kalau ke sini?” Tanyaku, aku memang kurang tahu tentang kota ini.

“Iya, kopinya enak kok, beda sama kopi-kopi lain,” jelas Moza .

“Aku minum ya,” aku tertarik untuk mencobanya.

Monggo, dihabiskan juga boleh. Hati-hati kalau ketagihan,” kata Moza.

“Enak juga ya, rasanya beda sama kopi-kopi yang sering aku minum,”tanpa menunggu lama aku telah meneguk habis kopi Moza.

Aku dan Moza bercerita hingga larut malam, sebenarnya Moza yang lebih banyak bercerita, dia bercerita tentang kota ini. Aku belum tau banyak tentang kota ini. Sebab, aku belum lama tinggal di kota ini, Kota Lasem.

Oh iya,Aku dan Moza adalah seekor kucing, kalian sudah tahu kan?

Kami tinggal disalah satu pesantren di Lasem, Jawa Tengah. Pesantren tersebut berada ditengah-tengah perkampungan dengan etnis Thionghoa. Meskipun begitu, para santri tetap toleran terhadap warga setempat. Jika mbak-mbak dan kang santri berpapasan dengan masyarakat Cina, mereka akan menyapa dengan sapaan  “permisi cik” atau “permisi koh” sebagai bentuk tanda hormat. Itulah salah satu sebab masyarakat Cina setempat juga menghormati setiap kegiatan di pesantren.

 Hmm… kadang aku berpikir ingin menjadi manusia saja seperti santri-santri, bisa merasakan bagaimana menyenangkannya bisa membaur dengan masyarakat cina. Tapi aku masih bersyukur, meskipun aku seekor kucing, aku masih bisa tinggal di sekeliling orang-orang yang hidup rukun dan selalu menghargai setiap perbedaan.

Oh iya… sebenarnya kucing yang tinggal disini bukan hanya aku dan Moza saja. Ada Momokucing betina dengan badan besar dan berwarna cokelat. Dia sering berada di kantin pesantren, Momo telah memiliki 5 anak. Ada juga Bores, aku selalu kasihan jika melihat Bores. Badannya kecil, dia memiliki luka-luka dikulitnya. Aku tidak tahu itu luka apa. Tapi, mbak-mbak biasa menyebutnya gudiken. Satu lagi, Glowing. Dia memang kucing yang paling bersih di antara kami, mungkin itu sebabnya mbak-mbak memanggilnya Glowing.

Dan aku, Ichi. Kucing yang paling menggemaskan di sini, membuat teman-temanku iri. Bagaimana tidak, mbak-mbak selalu saja memanggilku, bahkan menggendongku. Yang memberiku nama adalah mbak Reni. Aku ingat betul perkataannya waktu itu, “Wah… kamu lucu baget. Aku panggil Ichi ya, kamu seger dilihatnya kayak minuman Ichi Ocha, Hehe…,”. Nah, dari namaku saja sudah menggemaskan bukan? sebenarnya aku ingin membantah perkataan mbak Reni, bagaimana mungkin mbak Reni menyamakanku dengan minuman. Tapi, sudahlah aku terima saja. Nama Ichi bagus juga.

Selain kucing, ada juga binatang lainnya. Bebagai macam ikan, penyu, burung dan ayam.Abah kyai sangat senang dengan binatang, itu sebabnya di pesantren banyak binatang. Bersama para santri Abah merawat kami . Kami selalu diperlakukan dengan baik dan diberi makan tepat waktu.

Abah adalah salah satu idolaku. Beliau selalu tegas, dan cepat menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan dari santri. Beliau suka kebersihan, kawasan pesantren harus terlihat bersih. Kadang setiap selesai mengaji abah akan berkata “Mbak, kang,  jumputi daun ya. Satu orang lima daun saja,”.

 Jika ada santri yang berbuat tidak pantas,abah akan menghukumnya. Tidak peduli apakah itu gus atau ning. Abah memperlakukan semua santri sama, tidak pernah membeda-bedakan. Aku ingat kejadian saat sandal tamu dighosobkang santri. Dengan tegas abah memerintahkan semua santri putra berkumpul di depan ndalem.

“Kang-kang, siapa yang ghosob sandal tamu di depan musala?” Tanya abah dengan tegas.

Tidak ada yang mengaku, semua santri hanya berbisik-bisik “Siapa ya, kok berani sekali ghosob sandal tamu,”

“Sandalnya Swallow warna hijau di depan musala, yang ghosob langsung maju ke depan sini!” Perintah abah.

Salah satu santri maju, matur abah “Nyuwun sewu, abah, sepertinya tadi kang Ilham yang memakai sandal swallow hijau di depan mushola,”

“Ilham? Di mana Ilham?” Tanya abah.

“Di gladak abah, tidur,” jawab kang Aziz, teman sekamar kang Ilham.

“Tolong dipanggil suruh ke sini,” perintah abah. Kang Aziz langsung berlari memanggil kang Ilham.

Setengah sadar kang Ilham menghadap abah, seketika itu abah memukul kaki kang Ilham dengan kayu, di depan semua santri. Semua bergidik ngeri, termasuk mbak-mbak yang menyaksikannya di belakang. Itu untuk pertama kali aku melihat abah sebegitu marah hingga memukul kaki santri. Namun, aku tahu itu semua untuk mendidik para santri agar tidak ghosob. Dalam pengajiannya abah sering menjelaskan tentang ghosob. Meskipun aku bukan manusia seperti santri-santri abah yang lain, aku sering ikut mendengarkan pengajian abah.

“Mbak, kang, ingat ya! Jangan sampai kalian ghosob barang orang lain,” ucap abah tegas.

Nggeh, abah,” jawab santri serentak.

“jangan nggeh nggeh tok, ora kepanggih. Jika temane sampean ada yang ghosob sandal langsung pentung sikile. Kalau dia tidak terima, suruh menghadap saya,” jelas abah.

Aku selalu kagum dengan abah, beliau selalu memberi contoh dan menerapkan kebiasaan baik kepada santri-santri. Hal-hal sepele tapi dapat membuat orang senang selalu diajarkan kepada para santri. Seperti halnya, jika ada tamu langsung dipersilakan masuk dan dibuatkan minuman. Memulyakan tamu memang dianjurkan dalam ajaran rasul, aku tahu itu dari abah.

Aku pernah bercita-cita menjadi kyai seperti abah, rasanya aku ingin mendirikan pesantren untuk para binatang. Terdengar aneh memang.

“Haha… kamu itu ada ada saja Ichi. Kita ini binatang, mana ada binatang jadi kyai,” itulah tanggapan teman-temanku saat aku mengemukakan keinginannku.

“Memang kenapa, berarti aku binatang pertama yang jadi kyai dan punya pesantren dong, kan keren,” jawabku tidak terima.

“Sudahlah Ichi. Walaupun kamu tidak jadi kyai dan punya pesantren tidak apa apa. Asalkan kamu pandai ilmu agama, kamu bisa mengajari binatang-binatang lain yang kurang tahu ilmu agama,” kata Momo menjelaskan.

Aku pikir benar juga perkataan Momo, aku tidak harus menjadi kyai dan punya pesantren dulu untuk membagi ilmu dan menjadi panutan. Lagipula aku sering ikut pengajian abah. Aku cukup mendengarkan dan melaksanakan setiap kajian yang disampaikan oleh abah. Lalu, aku menjelaskannya pada teman-temanku yang kurang paham. Itu akan bermanfaat sekali. Seperti dawuh Abah waktu itu, “apapun yang kamu dapat, sebanyak apapun ilmumu, ajarkanlah pada yang lain, agar menjadi manfaat.”

Cerpen oleh: Lu’lu’ Istiqomah

MA Al Hidayat Lasem

Berhentilah Beramal!

Pagi hari selalu menjadi rutinitas sibuk bagi lelaki paruh baya itu. Sejak subuh dia sudah bangun. Melakukan sholat subuh, lalu pergi berjalan mengelilingi jalan setapak yang sering dia lewati. Mencium bau busuk hingga mengambil barang-barang yang biasa di sebut sampah, adalah pekerjaannya untuk menghidupi seorang anak yang diasuhnya dari pinggir tempat sampah. Menghidupinya, hingga menyekolahkannya.

 “Ayah!” panggil seorang anak lelaki berusia 12 tahun yang sudah menjadikan nya sebagai tulang punggung. Dia tersenyum lembut menatap anak itu.

“Kau akan pergi ke sekolah, Nak?”

Anak itu menganggukkan kepalanya, tidak memakai seragam, membawa sebiji buku tulis bekas, dan pensil sebesar jari tengah yang dibelinya dari tukang rongsok dekat rumah.

 Pagi hingga siang dia habiskan untuk mengelilingi pusat kota, istirahat sejenak, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Uang yang didapatkannya pun tak seberapa, cukup untuk makan dan bisa disisihkan untuk amal.

                                                     ***

Kesekian kalinya, sang ayah menerima laporan dari pihak sekolah anaknya. Dia harus menemui kepala sekolah sang anak.

“Maaf, Pak. Sekolah ini sudah tidak menyediakan biaya siswa untuk anak tidak mampu.” 

Apa-apaan ini? Batinnya bingung.

 Dia tak mampu membantah guru itu. Berjalan pergi mencari keberadaan sang anak, yang akan di bawanya pulang bersama.

“Ayah! Kenapa kesini?” tanya anak lelaki yang dicarinya sejak tadi.

“Ayo, Nak, pulang,” ajaknya dengan menggandeng tangan sang anak.

 Mendengar ayahnya berkata dengan lemas, sang anak pun tak ingin bertanya lebih, karena khawatir akan menyakiti hati ayahnya. Mereka berjalan pulang beriringan, hingga suara sang ayahlah yang  memecah keheningan.

“Nak, apa kau lapar?” tanya sang ayah tiba-tiba berhenti mendorong gerobak sampahnya.

 Sang anak hanya diam dengan menatap wajah ayahnya. Terlihat gurat lelah disana.

“Kita beli nasi bungkus di depan sana,” katanya dengan menunjuk warung depan yang tak jauh dari mereka.  

Melihat anaknya makan tidak semangat, sang ayah pun bertanya.

 “Apa makanan mu tidak enak, Nak?”

 Sang anak hanya mampu menggelengkan kepala lemas. Dia paham, bahwa makanan yang dibeli ayah bersamanya tadi, hanya sebungkus nasi dan tempe tepung saja.

                                                 ***

 “Ayah, aku ingin makan seperti teman-temanku. Mereka dibawakan sekotak nasi dengan lauk pauk yang beragam,” kata sang anak akhirnya.

 Sang ayah terkejut mendengar ucapan anaknya. Dengan sabar, dia mengelus kepala sang anak sambil berkata,

 “Nak, temanmu yang membawa nasi dengan beraneka macam lauk itu berapa banyak?”

 Sang anak mencoba berpikir, “Banyak, Yah!”

 Sang ayah lagi-lagi tersenyum lembut melihatnya.

 “Sedangkan yang makan nasi dengan lauk tempe tepung berapa banyak?” tanya sang ayah lagi.

 Sang anak menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Hanya aku, Yah,” jawab sang anak dengan lemas.

 Sang ayah kembali mengelus kepala anaknya dengan berkata, “Berarti kau adalah anak yang istimewa. Sebab semua temanmu makan dengan lauk yang sama, sedangkan kau dengan tempe tepung saja,”  kata ayahnya mencoba menghibur hati sang anak.

                                                 ***

Malam semakin larut, ketika yang terdengar hanyalah suara jangkrik, bukan suara motor yang menderu-deru. Di dalam rumah, sang anak hanya mampu memejamkan mata sambil membolak-balikkan tubuh kurus nya dengan resah. Sepertinya ayah sudah tertidur nyenyak, batinnya. Dia berpikir, kapan dia akan hidup seperti teman-teman nya?, diantar menggunakan sepeda motor, dibekali sekotak nasi dengan lauk yang beragam, mengenakan seragam, memakai tas punggung yang akan terlihat gagah saat dipakai. Ah, itu hanyalah angan-angan sederhana dari seorang anak penyapu jalanan. Saking fokusnya berangan, dia tak sadar jika ayahnya terbangun karna merasakan anaknya yang terus menerus bergerak hingga membuat kasur yang mereka tiduri itu tak nyaman.

“Nak, mengapa kau bangun tengah malam begini?” tanya sang ayah sambil meraba-raba sampingnya karena tak ada listrik di rumah mereka.

“Aku hanya sedang tidak mengantuk, Yah,” jawab sang anak menyahuti pertanyaan ayahnya. Ayah hanya diam saja, apakah ayah sudah tertidur kembali? Batin sang anak bertanya-tanya.

“Kau sedang sibuk berpikir apa,Nak? hingga membuatmu tak bisa tertidur?” kata ayah yang membuat sang anak menoleh ke sumber suara. Dengan sedikit takut, sang anak kembali memberanikan diri bertanya kepada ayahnya.

“Kenapa, Ayah selalu menyisihkan uang untuk beramal? Padahal hidup kita begitu pas-pasan?”

Yang terdengar bukanlah jawaban,  melainkan helaan napas dari sang ayah. Sang anak yang merasa tak enak dengan ayahnya. Dia hanya mampu berkata,

“Maafkan aku, Ayah,” kata sang anak akhirnya. Tidak ada sahutan dari sang ayah. Malam yang mereka lalui kini terasa berbeda dari biasanya.

                                                      ***

Keesokan harinya, sang anak terbangun dari tidurnya. Dia berpikir bahwa ayahnya telah pergi bekerja. Dia berjalan menuju sumur di belakang rumah untuk menyegarkan tubuhnya. Belum sempat keluar dari kamarnya, sang anak terkejut, ternyata ayahnya belum pergi bekerja.

“Nak, kau sudah bangun? Ayah membelikan nasi untuk makanmu pagi ini,” kata sang ayah tersenyum lembut.

Sang anak hanya terdiam, setelah melihat sekilas kearah ayahnya. Melihat respon sang anak, dia hanya tersenyum. Ah, mungkin sang anak masih  terbawa kantuknya.

                                                 ***

“Lihat ini teman-teman, telepon genggamku baru!” kata anak bertubuh gempal yang berdiri di dekat gawang lapangan.

 Cukup banyak anak yang mengerubunginya, hingga dia tak terlihat. Sang anak yang samar-samar mendengar, merasa penasaran akan hal itu. Dia berlari menuju gawang lapangan, dan melihat telepon genggam canggih yang diinginkannya selama ini.

“Wah, bagus sekali! Ayo kita foto di dekat klenteng merah. Disana pasti banyak orang-orang luar yang berfoto juga,” timpal seorang anak bertubuh sedikit kurus dengan senyum bahagianya.

“Iya, sekalian beli kopi lelet  di warung Mbok Ju, aku yang bayar!” balas seorang anak berkaus kuning, dengan mengacungkan uang sepuluh ribu rupiah.

Mendengar tawaran itu, disambut meriah oleh yang lainnya. Sang anak tersenyum, kemudian berkata.

 “Aku ikuuut!”

Mereka terdiam sejenak. salah satu dari mereka maju, kemudian mendorong pundak sang anak.

 “Hei, ikut katamu? Uang saja, kau tak punya. Kau, pikir aku juga akan membayarkan kopimu?”

Mendengar ucapan temannya, sang anak menahan tangis, memang benar dia tak pernah memegang uang saku seperti yang lainnya. Sang anak berlari pulang dan menghiraukan caci maki temannya.

                                                     ***

Malam harinya, sang ayah mengajak anaknya untuk berjalan-jalan mengelilingi Alun-Alun Kota Lasem. Mereka berjalan tanpa  suara. Hingga sang anaklah yang memecahkan keheningan.

“Ayah, berhentilah beramal! Aku ingin hidup seperti teman-teman,” kata sang anak dengan menahan isaknya.

Sang ayah melihat anaknya tak percaya.

“Nak, kau lihat orang yang berjualan kacang rebus itu?” tunjuk sang ayah, kepada nenek-nenek tua berpakaian lusuh yang duduk di pinggir jalan.

 Sang anak melihat sekilas kemudian memberikan anggukkannya.

“Coba kau lihat betul-betul, ada apa disana?” kata sang ayah yang masih menunjuk kearah nenek itu.

“Kacang rebus,” jawab sang anak yang terlihat sangat bingung dengan pertanyaan ayahnya.

Ayahnya tersenyum maklum,

 “Bukan, bukan itu maksud Ayah. Lihat pakaiannya, lebih bagus punya kita. Ayah tidak mengajarkan sombong padamu, tapi alangkah baiknya kita bersyukur. Ternyata di luar sana masih banyak yang membutuhkan bantuan,”  kata sang ayah, yang tak direspon oleh anaknya.

                                                     ***

Suatu malam, sang anak bertanya.

“Yah, aku ingin bekerja seperti orang-orang dewasa lakukan.”

Sang ayah spontan langsung menggeleng, “Tidak! Belum saatnya kau bekerja anakku.”

Tak mengindahkan nasehat ayahnya, sang anak kembali membantah.

           “Tapi kita selalu dalam kesusahan, Yah! Aku ingin seperti teman-temanku lainnya. Punya telepon genggam bagus, punya uang banyak!”

Ayahnya kembali bersabar, “Bersyukurlah, Nak! Allah mengizinkan kita hidup dengan sederhana.”

Sang anak hanya diam mendengar penuturan ayahnya.

                                                      ***

Siang hari yang terik, di pasar yang tak jauh dari rumahnya, sang anak berjalan-jalan. Dia berpikir keras, andai dia bisa hidup seperti teman-temannya. Kemudian, terlintaslah pikiran itu. Dia melihat ada ibu-ibu yang memegang dompet cukup besar. Tanpa menunggu waktu yang cukup lama, dia berlari secepat angin, menembus kerumunan orang yang berlalu lalang di depannya. Sesaat, dia sudah mencekram kuat dompet itu. Dia takut, tapi desakan ekonomi lah yang membuatnya begini. Dia terus berlari hingga dirasa aman. Kemudian berteduh di bawah pohon yang rindang. Dia tidak berani sama sekali membuka dompet itu. Hanya di genggamnya kuat-kuat dengan kedua tangan kecil yang dimiliki. Cukup lama, hingga dia melihat ayahnya mendorong gerobak sampah dengan lelah. Dia berlari menuju arah ayahnya.

“Yah, sudah tidak usah bekerja lagi menjadi tukang sapu jalanan. Jadi perampok saja, biar cepat punya uang banyak! Seperti aku ini,” katanya dengan bangga. Seolah itu adalah kehormatan untuknya.

Mendengar ucapan sang anak, ayahnya sangat marah. Dari mana anaknya belajar hal ini?

“Kau merampok, Nak?!” tanya sang ayah dengan nada sedikit bergetar.

Sang anak menatap mata sang ayah, terlihat sekali mata ayahnya memerah. Dengan ragu sang anak menganggukkan kepalanya. Ayahnya sangat terkejut, sungguh!

“Siapa yang kau rampok?!” tanya ayahnya dengan nada tak seperti biasanya.

Sang anak hanya menggeleng pelan.

 “Kembalikan dompet itu! Ayah sangat marah padamu, Nak!”

Sang anak menangis didepan ayahnya,

“Seandainya Ayah selalu mencukupi kebutuhanku, dan memberiku barang-barang seperti yang dimiliki teman-temanku, aku pasti takkan merampok, Yah!”

Mendengar ucapan anaknya, sang ayah menamparnya.

“Dengarkan ini baik-baik. Diluar sana banyak sekali orang yang hidupnya lebih kekurangan dibanding kita! Bersyukurlah, Nak! Kita bisa makan dengan nasi yang baik. Kita bisa tinggal ditempat yang baik. Ayah beramal untuk apa, kau masih ingin bertanya jawabannya, bukan? Untuk hidup kita di akhirat nanti, Nak!”

 “Sungguh, maafkan aku, Ayah.”

SELESAI.

Cerpen oleh : Nur`aini

MA Al Hidayat Lasem

Kebahagiaan Suku Entis

Kebahagiaan Suku Entis

Gemericik hujan yang turun subuh ini membuat suasana di Kota Lasem semakin dingin. Bahkan sedingin es batu. Namun, keadaan itu tidak membuat patah semangat Mbok Parsel dan Mang Dadang untuk mengawali aktivitas rutinnya. Namanya, Mbok Parsel. Penjual sekaligus pembuat kacang entis yang terkenal sabar, ulet, dan semangat. Konon, nama Parsel diambil oleh orang tuanya karena mereka suka membuat parsel untuk acara penikahan. Dan yang satunya adalah Mang Dadang. Suami sekaligus rekan bisnis Mbok Parsel. Dadang itu bukan nama asli. Suripto. Itulah nama aslinya. Setelah menikah dan berbaur dengan masyarakat Lasem, namanya berubah menjadi Mang Dadang karena beliau suka adhang.[1]

Hari ini persediaan minyak goreng Mbok Parsel habis. Aku sedih sekali karena tidak bisa berenang dalam minyak panas di pagi hari.

“He, teman-teman! Hari ini kita tidak bisa berenang pagi dulu,” ucapku

“Mengapa? Bukankah itu adalah olahraga rutin kita setiap hari?” tanya Bagyo, temanku.

“Minyak goreng Mbok Parsel habis dan sekarang beliau masih terlelap. Mungkin terlalu lelah gara-gara kemarin membuat banyak stok untuk lebaran.” jelasku

“Kan, ada Mang Dadang?” tanya Paryem

“Mang Dadang sedang dirumah Ocit. Mereka sibuk memikirkan daerah yang akan dijadikan tempat distribusinya nanti,” jelasku pada teman-teman.

“Ya sudahlah, kita ditakdirkan untuk istirahat dulu hari ini. Semoga saja besok kita sudah bisa bermain lagi dengan minyak goreng panas.” ucap Bagyo

O, iya. Aku lupa mengenalkan diriku sendiri. Namaku Entisutisno, biasa dipanggil Tisno.dan mereka yang berbicara denganku bernama Entisubagyo (Bagyo) dan Entisuparyem (Paryem). Pasti kalian bingung kan, mengapa nama awalan kita sama? Apakah kami anak kembar bertiga? Tidak. Kami berasal dari Suku Kacang Entis yang biasanya dibuat camilan lezat oleh-oleh khas Lasem. Makanya, nama kami awalannya ‘entis’ semua.

Tok …Tok…

“Assalamu’alaikum..”

Eh, sudah dulu perkenalan tentang kami. Rupanya ada yang mengetuk pintu kayu Mbok Parsel. Mari kita lihat siapa yang datang.

“Wa’alaikumussalam..” jawab Mbok Parsel diikuti dengan langkah kakinya menuju daun pintu.

Cekrek…

“Eh, Aa. Tumben cepat pulangnya?” tanya Mbok Parsel

“Iya, Dik. Si Ocit sedang menjemput anaknya di Terminal. Jadi diskusinya ditunda,” ucap Mang Dadang

“O, begitu. ya sudah Aa duduk saja biar saya buatkan kopi lelet,” ucap Mbok Parsel

“Dik, ini minyak goreng untuk masak kacang nanti. tadi dijalan saya teringat minyak goreng kita yang habis. jadi sekalian saja membeli di Pak RT.” jelas Mang Dadang sembari tangannya memberikan minyak goreng kiloan kepada Mbok Parsel.

Nggih, Aa. Matur nuwunJ[2].” ucap Mbok Parsel diikuti dengan tangannya yang meraih minyak tersebut.

Mbok Parsel pun berjalan menuju dapur untuk membuat kopi lelet. Selain kacang entis, Lasem juga terkenal dengan kopi hitamnya yang enak. Namanya kopi lelet. Di Kota Lasem ada juga batik dengan beraneka ragam corak, seperti contohnya batik tiga negeri, batik naga, dan sebagainya.

“He, teman-teman! Ada kabar baik!” seru Bagyo kepada suku etnis yang lain

“Ada apa?”

“Apa yo? ribut sekali,”

“Bikin kaget saja. memangnya ada apa?”

“Hampir saja jantungku lepas. ada apa sih?”

“Hari ini kita jadi berenang dalam minyak! Mang Dadang tadi membelikan banyak minyak,” jelas Bagyo

“Yeaaaaaaaay!!”

“Akhirnya kita bisa menjadi camilan untuk mulut para manusia,” ucapku

“Iya. Dan juga kita bisa promosi Kota Lasem karena ada kacang entisnya. Hehehe.” ucap salah satu entis

“Sudah, ayo kita bersiap-siap! sebentar lagi kita akan dimasak oleh Mbok Parsel.” ajak Paryem

Tidak lama kemudian, Mbok Parsel menyiapkan beberapa peralatan untuk menggoreng kacang. Dituangkannya minyak ke dalam wajan yang disusul dengan membaranya api kompor gas. Sebelumnya, kalian mengerti tidak, apa itu kacang entis? Sepertinya asing sekali di telinga, karena memang kacang ini hanya ada di daerah Rembang dan Lasem termasuk dalam derah lingkupan Rembang.

Makanan khas Rembang ini terbuat dari kacang tolo. Dulunya kacang ini disebut sebagai ‘kacang renyah’, karena memang rasanya yang renyah dan gurih. Namun, setelah mengerti pembuat pertama bernama Mak Entes, maka masyarakat Lasem membuat nama sendiri dengan mengatasnamakan Mak Entes. Jadilah nama kacang tersebut dengan ‘kacang entes’. Setelah beberapa tahun kemudian nama itu tenar, ternyata lidah orang Lasem sulit untuk menyebutkan nama tersebut dan salah satu anak kecil tiba-tiba mengatakan “Cang ntis, ntis!” Hal tersebut membuat masyarakat sekitar berpikir bahwa kacang tersebut dinamakan ‘entis’ saja. Dan lahirlah sebutan ‘kacang entis’ sampai sekarang ini.

Cara pembuatan kacang entis bisa dibilang cukup mudah. Awalnya kacang tolo dikupas dan dijemur sampai benar-benar kering, lalu setelah itu digoreng sampai warna kecoklatan dan renyah. Setelah itu, dicampur dengan garam, bumbu penyedap dan bawang putih. Dengan cita rasa asin dan gurih dan irisan bawang putih goreng menambah lezatnya kudapan ini. Selanjutnya kacang entis dikemas dengan berbagai macam cara sesuai selera produsen.

Setelah selesai pengemasan, kacang entis siap untuk dikirim ke beberapa toko. Dalam bagian distribusi, Mang Dadang dan Ocit sebagai pelakunya. mereka mengantarkan barangnya menggunakan motor sederhana yang suaranya merdu bak batuk berdahak.

Dua hari setelah pendistribusian, Mbok Parsel dan Mang Dadang Nampak sedih. Mereka mendapat kabar bahwa sekarang kacangnya tidak selaku dulu. Pasalnya ada penjual lain yang lebih menarik perhatian pelanggan. lebih renyah dan kriuk , katanya. Aku dan teman-teman pun ikutan sedih karena Mbok Parsel sudah kami anggap seperti ibu sendiri. Kesedihan Mbok Prasel dan Mang Dadang adalah kesedihan suku entis juga. Akhirnya kami dibawa pulang kembali oleh Mang Dadang karena belum ada satu pun pelanggan yang tertarik kepada kami.

“Huhuhu..sedih sekali. Kita sudah tidak laku seperti dulu lagi,” rengekku

“Iya, bagaimana ini? kasihan Mbok Parsel dan Mang Dadang yang sudah repot-repot mengolah kita,” ucap Bagyo

“Bagaimana ya?”

“Emm..”

“Hm. Seandainya aku bisa berbicara dengan manusia, pasti akan kukeluarkan kata-kata ketenangan untuk Mbok Parsel.” ucapku

“Aku pun. jika aku bisa berwujud manusia, pasti akan kupeluk Mbok Parsel dan Mang Dadang agar hati mereka sedikit lebih tenang.” ucap Paryem

Namun belum lama kami mengobrol, tiba-tiba Mang Dadang datang kearah kami dengan menaburkan sesuatu yang lembut namun berasa.

“Apa ini? Seperti debu dan aku ingin sekali bersin,” pikirku

“Tisno! Lihatlah! Badanmu sekarang menjadi seperti jeruk warnanya. Hahaha.” ucap Bagyo dengan tawanya yang keras seperti suara katak.

“Uhuk..Uhuk .. apa ini? Butiran halus itu mengenai mataku.” ucap Paryem

“Haha! Paryem bercerminlah! Sekarang badanmu berwarna kuning seperti feses.” ucapku sambil terpingkal-pingkal.

Tak lama kemudian, badan Bagyo pun berubah menjadi warna hijau lumut. Seperti Hulk! itu lho, Hulk Si Superhero gendut tapi kekuatannya luar biasa. Tahu tidak, Mengapa kami berubah warna seperti ini? Apakah kami dikutuk karena dosa-dosa kami? atau karena kami tidak laku? Iya! Betul!

Mang Dadang mengubah rasa kami menjadi beraneka ragam. Dari rasa original menjadi jagung,balado, dan rumput laut. Bisa terbayang tidak, kacang entis dijual dengan dengan beraneka rasa? Menarik bukan?

Kami pikir Mbok Parsel telah lelah berjuang untuk suku entis. Tapi ternyata tidak. Justru Mbok Parsel hadir dengan segala kecerdasannya dalam menyelesaikan masalah dan Mang Dadang dengan sejuta ide kreatifnya.

Kini, kacang entis produksi Mbok Parsel dan Mang Dadang hadir dengan berbagai rasa. Dalam hitungan hari, produksi mereka telah melesat dengan ramainya pelanggan. Salah satu tempat distribusinya adalah Toko Snack Jaya milik Pondok Pesantren Kauman Lasem. Hati suku entis pun menjadi senang dan berharap cerita ini akan menjadi motivasi bagi para produsen kacang entis Lasem. Satu motivasi yang selalu diingat oleh Mbok Parsel:

“Jika tujuanmu belum tercapai, maka ubahlah caramu mencapai tujuan itu. jangan sampai kamu mengubah ke tujuan yang lain.” –Gus Miftah

Cerita pendek oleh Bilqis Soraya

MA Al Hidayat Lasem


[1] bahasa jawa yang artinya menanak nasi.

[2] Iya, Aa. Terima Kasih. J

Blog di WordPress.com.

Atas ↑